Minggu, 22 Mei 2016

ASKEP Batu saluran kemih (UROLITHIASIS)



BAB 1
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Batu saluran kemih adalah batu yang terdiri dari batu ginjal, batu ureter, batu uretra, dan batu kandung kemih. Komposisi dari batu saluran kemih ini bisa terdiri dari batu kalsium, batu struvit, batu asam urat dan batu jenis lainnya yang didalamnya terkandung batu sistin, batu Xanthin, dan batu silikat. Penyebab tersering terjadinya batu saluran kemih ini adalah adalah sumbatan pada saluran kemih baik itu terjadi secara herediter maupun karena factor dari luar. (Purnomo, 2011 ed.3)
Penyakit batu saluran kemih ini sudah dikenal sejak zaman babilonia dan zaman mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah diketemukannnya batu pada kandung kemih seorang mumi. Penyakit ini dapat menyerang penduduk diseluruh dunia tidak terkecuali penduduk di Indonesia.  Angka kejadian penyakit ini tidak diberbagai belahan dunia. Dinegara-negara berkembang banyak dijumpai pasien dengan batu kandung kemih sedangkan dinegara majulebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas, hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh status gizi da aktivitas pasien sehari-hari. (Purnomo, 2011 ed.3)
Di Amerika Serikat, 5-10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan diseluruh dunia rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu saluran kemih. Selain infeksi saluran kemih dan Pembesaran prostat benigna, penyakit batu saluran kemih juga merupakan tiga penyakit terbanyak pada system urologi sehingga perlu untuk dipahami terkait penjelaskan maupun factor resiko terjadinya batu saluran kemih agar penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin. (Purnomo, 2011 ed.3)
                 
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1        TujuanUmum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Perkemihan I diharapkan mahasiswa semester 6 dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien dengan Urolithiasis dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.

1.2.2        TujuanKhusus
1.      Untuk mengetahui definisi dari Urolithiasis
2.      Untuk mengetahui Klasifikasi dari Urolithiasis
3.      Untuk mengetahui etiologi dari Urolithiasis
4.      Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Urolithiasis
5.      Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari Urolithiasis
6.      Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk Urolithiasis
7.      Untuk mengetahui patofisiologi/ WOC Urolithiasis
8.      Untuk mengetahui pencegahan dari Urolithiasis
9.      Untuk mengetahui komplikasi Urolithiasis
10.  Untuk mengetahi prognosis Urolithiasis
11.  Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Urolithiasis
1.3  Manfaat
Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh pembaca dan penulis untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan, terutama Asuhan Keperawatan pada klien dengan Urolithiasis


BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1  Anatomi Fisiologi System Urogenitalia

Sistem urogenitalia terdiri dari system organ reproduksi dan system urinaria. Keduanya dijadikan satu kelompok system urogenitalia karena mereka saling berdekatan, berasal dari embriologi yang sama dan menggunakan saluran yang sama sebagai alat pembuangan misalnya uretra pada pria. System urinaria atau disebut juga sebagai system ekskretori yang merupakan organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia normal organ ini terdiri atas ginjal beserta system pelvikalises , ureter, kandung kemih, dan urtera. Pada umumnya organ urogenitalia terletak dirongga retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang berada disekitanya kecuali testis, epididimis, vas deferense, penis dan uretra. (Purnomo, 2011 ed. 3)

                        Gambar 1.( Sumber: apotekerbercerita.wordpress.com)


1.      Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak dirongga retroperitoneal bagian atas.  Beratnya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Cekungan ini disebut sebagai hilus renalis, yang didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur  lain yang merawat ginjal yakni pembuluh darah, system limfatik dan system saraf. Besar dan berat ginjal sangat bervariatif, tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Dalam hal ini ginjal laki-laki relative lebih besar dari perempuan. Pada autopsy klinis didapatkan bahwa ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm(panjang)x 6cm (Lebar) x 3.5cm (tebal) dengan berat bervariasi antara 120-170 gram ataukuranglebih 0.4% dari berat badan. (Purnomo, 2011 ed. 3)
a.       Struktur ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi atas 2 bagian yaitu korteks dan medulla ginjal . korteks ginjal terletak lebih superficial dan didalamnya terdapat berjuta-juta nefron.  Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Medulla ginjal terletak lebih profondus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontrotus proksimal, loop of henle, tubulus kontrotus distal dan duktus kolegentes. Darah yang membawa sisa hasil metabolism tubuh difiltrasi didalam glomerulus dan setelah sampai di tubulus ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh direabsorbsi dan zat sisa yang tidak diperlukan tubuh mengalami sekresi membentuk urin.
b.      Vaskularisasi ginjal
Suplai darah ginjal di perankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan cabang langsung dari aorta abdomnalis dan vena renalis bermuara langsung ke dalam vena kafa inferior.
c.       Persarafan
Ginjal mendapatkan persafaran melalui pleksus renalis yang seratnya bersama dengan arteri renalis. Input dari system simpatik menyebabkan vasokontriksi yang menghambat aliran darah ke ginjal. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju corda spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa nyeri didaerah pinggang bisa merupakan nyeri referral dari ginjal.
d.      Fungsi ginjal
Ginjal memerankan beberapa fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan yakni menyaring sisa metabolism dan toksin dari darah serta mempertahankan hemostasis cairan dan elektrolit tubuh yang kemudian dibuang melalui urin. Fungsi tersebut diantaranya
1.      Mengontrol sekresi hormone aldosteron dan ADH dalam mengatur jumlah cairan tubuh
2.      Mengatur metabolism ion kalsium dan vitamin D
3.      Mengasilkan beberapa hormone diantaranya eritropoetin, rennin dan prostaglandin Sumber : (Purnomo, 2011 ed. 3)
2.      Ureter
Ureter adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urindari pielum (pelvis) ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 25-35 cm dengan diameter 3-4 mm.
3.      Kandung Kemih (Vesika Urinaria)
Vesika urinaria terletak tepat di belakang os pubis. Bagian ini merupakan tempat untuk menyimpan urin, berdinding otot kuat , bentuknya bervariasi  sesuai dengan jumlah urin yang dikandung. Vesika urinaria saat kosong terletak di apeks belakang tepi atas simfisis pubis. Permukaan posterior berbentuk segitiga (H.  Syaifuddin,2011 ed.4).
4.      Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari kandung kemih melalui proses miksi.  Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan anterior. Pada pria, organ ini juga berfungsi untuk menyalurkan air mani.
5.      Kelenjar prostat
Prostat merupakan organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli, didepan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2.5cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Prostat menghasilkan cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejaculator.
Fisiologi Pengisian dan Pengosongan Vesika Urinaria
                        Dinding ureter mengandung otot polos yang tersusun dalam bekas spiral longitudinal dan sirkuler. Kontraksi peristaltic teratur 1-5x/ menit menggerakkan urin dari pelvis renalis ke vesika urinaria setiap gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding vesika urinaria untuk menjaga ureter tertutup kecuali selama gelombang peristaltic dan mencegah urin tidak kembali ke ureter. Kontraksi otot detrusor bertanggung jawab dalam proses pengosongan vesika urinaria selama berkemih. Berkas otot berjalan pada sisi uretra yang disebut dengan sfingter uretra interna. Sepanjang uretra terdapat sfingter uretra membranosa (Sfingter uretra eksterna). (Syaifuddin, 2011 ed.4)

2.2         Definisi Urolithiasis
Urolithiasis merupakan penyakit batu saluran kemih sedangkan nefrolithiasis merujuk pada  penyakit batu ginjal. Urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam system perkemihan. Batu atau kalkuli dibentuk didalam saluran kemih mulai dari ginjal ke kandung kemih oleh kristalisasi dari substansi ekskresi didalam urin. (Nursalam, 2006)
                                   
Teori proses pembentukan batu
Secara teoritis batu dapat berbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin(statis urin) yaitu pada system kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises(stenosis uretero pelvis ), divertikel, obstruksiinfravesika kronis seperti pada hyperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organic dan anorganik yang terlarut dalam urin. (Purnomo, 2011)
Penghambat Pembentukan Batu Saluran Kemih
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih ditentukan juga oleh adanya keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal, proses agregasi kristal hingga retensi kristal. (Purnomo 2011)

            2.3 Klasifikasi Batu
                        Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsure kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat(MAP), Xanhyn, dan sistin, silikat, dan senyawa lainnya. Data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting untuk usaha pencegahan terhadap timbulnya batu residif. Jenis-jenis batu terdiri dari (Purnomo, 2011 ed. 3):
a.       Batu kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaotu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat , kalsium fosfat, atau campuran kedua unsure tersebut. Factor terjadinya batu kalsium adalah:
1.      Hiperkalsiuria
2.      Hiperoksaluri
3.      Hiperurikosuria
4.      Hipositraturia
5.      Hipomagnesuria

b.      Batu struvit
Disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu tersebut disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih.  Kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang menghasilkan urease dan merubah urin menjadi basa melalui proses hidrolisis urea menjadi amoniak merupakan penyebab terjadinya batu struvit tersebut.
c.       Batu Asam Urat
5-10% batu saluran kemih adalah batu asam urat. 75-80% dari batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat.
d.      Batu jenis lain
Batu sistin, batu Xanthin, batu triamteren dan batu silikat sangat jarang dijumpai. Batu sisten terjadi karena kelainan metabolism sistin dalam absorbs sistin di mukosa usus, batu xanthin terjadi akibat penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis hipoxanthin menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat. Selain itu pemakaian silikat yang berlebihan dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya batu silikat (Purnomo, 2011 ed.3).
Klasifikasi Batu Berdasarkan Lokasinya:
A.    Batu Ginjal dan Batu Ureter
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada dikaliks infudibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Kelainan atau obstruksi pada system pelvikalis ginjal akan mempermudah timbulnya batu saluran kemih. Selain itu, batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltic otot-otot system pelvikalis dan turun ke ureter menjadi batu ureter (Purnomo, 2011 ed.3).
                       
B.     Batu Kandung Kemih
Batu kandung kemih sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi terjadi pada pasien dengan hyperplasia prostat, striktura uretra, divertikal buli-buli atau buli-buli neurogenik. Selain itu, batu kandung kemih juga bisa disebabkan oleh batu ginjal atau batu ureter yang turun ke kandung kemih. Jika penyebabnya infeksi, biasanya komposisi batu kandung kemih ini terdiri atas asam urat atau struvit.

C.    Batu Uretra
            Batu uretra primer sangat jarang terjadi. Pada batu uretra biasanya terjadi karena batu ginjal, ureter dan kandung kemih yang turun ke uretra. Keluhan yang biasa di sampaikan pasien adalah miksi tiba-tiba berhenti sehingga terjadi retensi urin yang mungkin sebelumnya didahului nyeri pinggang.

Klasifikasi batu lain berdasarkan X ray characteristic (Turk, C, T. Knoll, A petrik, K. Sarika, C. Seitz, A. Skolarikos, M. Straub, 2013 Urolithiasis) :
1.      Radioopaque: calcium oksalat dihidrat, kalsium oksalat monohidrat, calcium fosfat
2.      Poor radiopaque: magnesium ammonium fosfat, cystin
3.      Radiolucent: asam urat, ammonium urate, Xanthin, 2.8 dihidroxiadenin, drug stone.
Berdasarkan Etiologi:
1.      Batu non infeksi: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat
2.      Batu infeksi: Magnesium ammonium fosfat, karbonat apatit, ammonium urat
3.      Batu genetic : Cystine, Xanthin, 2.8-dihidroxy-adenin
4.      Batu yang terbentuk karena obat-obatan (drug stone): contoh( indinavir

2.4    Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).  Secara epidemologi terdapat beberapa factor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Factor-faktor itu adalah factor intrinsic , yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan factor intrinsic yaitu pengaruh dari lingkungan sekitarnya. (Purnomo,2011 ed.3)
a.       Factor intrinsic
1.      Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya
2.      Umur: sering pada usia 30-50 tahun
3.      Jenis kelamin : pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan
4.      Gangguan Metabolik : Hiperparatiroididsme, Hiperkalsiuria, Hiperuresemia.
b.      Factor ekstrinsik
1.      Geografi: beberapa daerah menunjukan kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal dengan  stone belt (sabuk batu) sedangkan daerah bantu afrika selatan tidak dijumpai batu saluran kemih
2.      Iklim dan temperature
3.      Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih
4.      Diet: diet banyak purin , oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih
5.      Pekerjaan: sering dijumpai pada klien dengan pekerjaan banyak duduk atau kurang activitas atau sedentary life
Etiologi berdasarkan klasifikasi : (Turk, C, T. Knoll, A petrik, K. Sarika, C. Seitz, A. Skolarikos, M. Straub, 2013 Urolithiasis):
1.      Batu non infeksi: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat
2.      Batu infeksi: Magnesium ammonium fosfat, karbonat apatit, ammonium urat
3.      Batu genetic : Cystine, Xanthin, 2.8-dihidroxy-adenin
4.      Batu yang terbentuk karena obat-obatan (drug stone): contoh( indinavir
2.5    Manifestasi Klinis
Batu di ginjal itu sendiri bersifat asimtomatik kecuali apabila batu tersebut menyebabkan obstruksi atau timbul infeksi (J. Corwin,  2007). Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya obsrtuksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Iritasi batu yang terus-menerus dapat mengakibatkan terjadinya infeksi (pielonefritis dan sistitis) yang sering disertai dengan keadaan demam, mengggil dan disuria.
1.    Batu di piala ginjal (Purnomo, 2011)
a.    Menyebabkan rasa sakit yang dalam dan terus-menerus di area kostovertebral.
b.   Dapat dijumpai hematuria dan piuria.
c.    Kolik renal : Nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan di seluruh area kostovertebral, nyeri pinggang, biasanya disertai mual dan muntah
2.    Batu di ureter (Purnomo, 2011)
a.    Nyeri luar biasa, akut, kolik yang menyebar ke paha & genitalia
b.   Sering merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasi batu.
3.    Batu di kandung kemih (Purnomo, 2011)
a.                   Nyeri kencing/disuria hingga stranguri
b.                   Perasaan tidak enak sewaktu kencing
c.                  Kencing tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali dengan perubahan posisi tubuh
d.                 Nyeri pada saat miksi seringkali dirasakan pada ujung penis, skrotum, perineum, pinggang, sampai kaki.
4.    Batu di uretra (Purnomo, 2011)
a.         Miksi tiba-tiba berhenti hingga terjadi retensi urin
Nyeri dirasakan pada glans penis atau pada tempat batu berada. Batu yang berada pada uretra posterior, nyeri dirasakan di perineum atau rektum
a.       Batu yang terdapat di uretra anterior seringkali dapat diraba oleh pasien berupa benjolan keras di uretra pars bulbosa maupun pendularis atau kadang-kadang tampak di meatus uretra eksterna
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Umamy (2007) Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk mengetahui adanya batu ureter (urolithiasis) adalah sebagai berikut:
1.              Uji Laboratorium
1)                  Analisa urin (Urinanalisis)
Analisa ini digunakan untuk menemukan faktor risiko pembentukan batu selain itu juga dapat menunjukkan hasil secara umum terkait dengan hal-hal berikut ini:
(1)                Tes urin lengkap
Warna urin mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum menunjukkan SDM, SDP, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan, mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat) (Borley 2006).
Pemeriksaan ini dikenal dengan pemeriksaan urin rutin dan lengkap yaitu suatu pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan kimia urin yang meliputi pemeriksaan protein dan glukosa. Sedangkan yang dimaksud dengan  pemeriksaan urin lengkap adalah pemeriksaan urin rutin yang dilengkapi dengan pemeriksaan benda keton, bilirubin, urobilinogen, darah samar dan nitrit. Warna urin, adanya eritrosit, bakteri yang ada di dalam urin
(2)     Kultur urin
Pemeriksaan ini dilakukan dengan indikasi kecurigaan pada klien dengan adanya ISK karena berguna untuk mendeteksi adanya infeksi sekunder ataupun infeksi saluran kemih (ISK) akibat adanya pertumbuhan kuman pemecah vena seperti (Stapilococus aureus, Proteus, Klebsiela, Pseudomonas).
(3)     Tes urin 24 jam
Pengumpulan urin 24 jam ini dilakukan saat klien di rumah pada lingkungan yang normal. Hal ini berguna untuk mengetahui kadar pH urin, kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin yang mungkin meningkat. Kadar normal pH urin adalah 4,6-6,8. Jika pH asam maka akan meningkatkan sistin dan batu asam urat. Sedangkan, apabila pH alkali maka dapat meningkatkan magnesium, fosfat amonium (batu kalsium fosfat). Kadar BUN normalnya mencapai 5-20 mg/dl, pada pemeriksaan tujuannya untuk melihat kemampuan ginjal dalam ekskresi sisa yang bernitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate (GFR). Hal yang mempengaruhi perubahan kadar BUN adalah diet tinggi protein serta darah dalam saluran pencernaan yang mengalami katabolisme (cedera dan infeksi). Sedangkan untuk Kreatinin Serum memiliki tujuan yang sama dengan pemeriksaan BUN. Kadar normal laki-laki adalah 0,85-15 mg/dl sedangkan perempuan 0,70-1,25 mg/dl. Jika pada serum tinggi dan atau urin rendah maka dapat dikatakan sebagai keabnormalitasan sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia/ nekrosis.
(4)     Kadar klorida, bikarbonat serum, serta hormon paratiroid
Peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal. Selain itu, kadar hormon paratiroid (PTH) juga mungkin meningkat jika terdapat gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin).
2)   Tes darah lengkap (DL)
Leukosit kemungkinan dapat meningkat, hal ini disebabkan adanya infeksi/septikemia, namun berbeda dengan eritrosit yang biasanya dalam kadar normal. Sedangkan Hb/Ht menjadi abnormal bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia (mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi/ gagal ginjal). Periksa juga kadar protein plasma darah serta laju endap darah.
3)   Analisa batu
Analisa ini digunakan untuk pemeriksaan adanya batu pada saluran perkemihan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sendimen urin. Pemeriksaan ini juga disebut dengan tes mikroskopik urin, dimana survei ini berguna untuk menunjukkan adanya sel dan benda berbentuk partikel lainnya seperti bakteri, virus maupun bukan karena infeksi (perdarahan, gagal ginjal). Pemeriksaan ini juga dapat dipakai untuk mengetahui ada atau tidaknya leukosituria, hematuria dan kristal-kristal pembentuk batu seperti yang dijelaskan di bawah ini:
(1)     Kalsium oksalat
Kalsium ini dapat dijumpai pada klien yang sehat. Terjadi pada urin dari setiap pH terutama jika pH asam. Kristal berbentuk amplop atau halter, ukuran bervariasi dan  tidak berwarna ini dapat muncul setelah seseorang mengonsumsi makanan tertentu (seperti asparagus, kubis, dll) serta ketika keracunan ethylene glycol. Jika kristal Ca-oxallate ini berjumlah 1-5 (Positif 1) per LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika lebih dari 5 (Positif 2 atau 3) sudah dinyatakan abnormal.
(2)     Triple fosfat
Seperti halnya Ca-oxallate, triple fosfat juga dijumpai pada klien yang sehat. Kristal ini dapat ditemukan pada pH netral ke basa. Kristal berbentuk prisma empat persegi panjang (seperti tutup peti mati) dan kadang-kadang berbentuk daun atau bintang ini dapat muncul setelah mengonsumsi makanan tertentu seperti buah-buahan. Infeksi saluran kemih dengan bakteri penghasil urease (Proteus vulgaris) dapat mendukung pembentukan kristal ini dengan meningkatkan pH dan amonia bebas.

(3)     Asam urat
Kristal ini berbentuk belah ketupat atau jarum yang menyerupai bunga mawar serta berwarna kuning kecoklatan. Kristal ini memberikan nilai klinis pada metabolisme zat sampah atau sisa metabolisme normal. Namun, jumlahnya tergantung dari beberapa hal seperti: jenis makanan, jumlah makanan, kecepatan metabolisme, dan konsentrasi urin.
(4)     Sistin (Cystine)
Kristal berbentuk heksagonal dan  tipis ini muncul akibat dari cacat genetik atau penyakit hati yang parah. Dapat dijumpai pada cystinuria dan homocystinuria. Terbentuk pada pH asam dan ketika konsentrasinya > 300 mg. Kristal ini sering membingungkan dengan kristal asam urat. Sistin Crystalluria merupakan indikasi cystinuria, diaman merupakan kelainan metabolisme bawaan yang melibatkan reabsorbsi tubulus ginjal tertentu termasuk asam amino sistin.
(5)     Leusin dan tirosin
Merupakan  kristal asam amino yang sering muncul bersama-sama dalam penyakit hepar kronis. Leusin muncul dengan berminyak bola dengan radial dan konsentris striations, sedangkan tirosin tampak sebagai jarum yang tersusun sebagai berkas dan berwarna kuning. Kristal ini sangat jarang terlihat pada pemeriksaan mikroskopis sendimen urin. Kristal ini dapat diamati pada beberapa penyakit keturunan seperti tyrosinosis dan Maple Syrup.
(6)     Kristal kolesterol
Kristal ini tampak regular atau iregular, transparan, seperti pelat tipis empat persegi panjang. Penyebabnya tidak jelas, namun hal ini diduga memiliki makna klinis seperti oval fat bodies. Kristal ini sangat jarang dan biasanya disertai proteinuria.
(7)     Kristal lain
Kristal lain yang dapat ditemukan  pada pemeriksaan mikroskopik sendimen urin, misalnnya adalah:
a.    Kristal dalam urin asam
a)    Natrium urat: tidak berwarna, berbentuk batang irregular tumpul, berkumpul membentuk roset.
b)   Amorf urat: berwarna kuning atau coklat, terlihat sebagai butiran dan berkumpul.
b.    Kristal dalam urin alkali
a)     Amonium urat (biurat): berwarna kuning-coklat, berbentuk bulat irregular berduri atau bertanduk.
b)    Ca-fosfat: tidak berwarna, berbentuk batang panjang, berkumpul membentuk roset.
c)     Amorf fosfat: tidak berwarna, berbentuk butiran-butiran dan berkumpul.
d)    Ca-karbonat: tidak berwarna, berbentuk bulat kecil dan halter.
c.       Kristal akibat sekresi obat dalam urin
a)     Kristal sulfadiazin
Kristal ini terbentuk akibat konsumsi obat sulfadiazine yang biasanya digunakan untuk obat antibakteri. Obat ini terdapat sulfa yang sukar larut dalam urin dan sangat asam sehingga dapat menimbulkan kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya. Tindakan pencegahannya yaitu klien dianjurkan minum banyak air putih (≥ 1200 ml/hari) atau diberikan sediaan alkalis (Na-Bikarbonat untuk menaikkan pH urin).
b)    Kristal sulfonamida
Kristal ini terjadi akibat konsumsi obat sulfonamida yang digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan  pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Kristal ini dapat terjadi karena tidak dikombinasikan dengan Na-Bikarbonat (natrium sitrat) sehingga tidak dalam suasana alkalis yang mengakibatkan sulfa-sulfa akan menghambur dalam saluran kemih secara bebas.
2.    Tes Radiologi
1)   Foto polos abdomen (BOF, KUB)
Radiologi ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kalkuli dan atau perubahan anatomik pada area ginjal maupun sepanjang ureter. Plain-film radiografi dari ginjal, ureter, dan kandung kemih (KUB) hanya dapat mendokumentasikan ukuran dan lokasi batu kemih radiopak pada batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, karena memiliki kandungan kalsium mereka paling mudah dideteksi oleh radiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menganjurkan klien untuk dilakukan Lavement dengan dulcolax sebagai persiapan pemeriksaan.
Selain itu, pemeriksaan ini berperan untuk menilai kandung kemih dan ginjal, dimana ditentukan dari:
(1)     Distribusi udara di dalam usus rata atau tidak.
(2)     Bentuk ginjal.
(3)     Bayangan batu : dimana dilihat radiopak, radiolusent.
(4)     Garis M. Psoas  simetris. Jika tidak simetris harus dilakukan transplantasi ginjal.







Gambar 2.5 Gambaran Plain Foto (Foto Polos Abdomen / BOF, KUB)
(Tanagho dan McAninch, 1976)

2)      IVP (Intra Vena Pielografi) / IVU (Intravenous Urography)
Memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdomen atau panggul. Tes ini juga dapat menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli. Saat ini, IVU/IVP memiliki peran yang terbatas dalam manajemen. IVU/IVP menyediakan informasi yang berguna mengenai ukuran batu, lokasi, dan radiodensity. Anatomi Calyceal, derajat obstruksi, serta unit ginjal kontralateral juga dapat dinilai dengan akurasi. IVU/IVP tersedia secara luas, dan interpretasinya baik standar. Selain itu, IVU/IVP memungkinkan untuk kalkuli saluran kemih dapat dengan mudah dibedakan dari radiografi non-urologi.
Keakuratan IVU/IVP dapat dimaksimalkan dengan persiapan usus yang tepat, dan efek ginjal merugikan dari media kontras dapat diminimalkan dengan memastikan bahwa klien terhidrasi dengan baik. Langkah-langkah persiapan membutuhkan waktu dan sering tidak dapat dicapai ketika kondisi klien dalam situasi darurat. Dibandingkan dengan ultrasonografi abdomen dan KUB radiografi, IVU/IVP memiliki sensitifitas yang lebih besar (64-87%) dan spesifisitas (92-94%) untuk mendeteksi batu ginjal. Kontras diperlukan untuk melakukan IVU/IVP. Efek nefrotoksik kontras didokumentasikan dengan baik dari literatur IVU dan dibahas secara singkat untuk memudahkan pembaca tentang kesepakatan klinis dengan situasi di mana penggunaan kontras masih di pertanyaan.
Indikasi pemeriksaan ini yaitu pada klien dengan:
(1)      Hematuria
(2)      ISK yang berulang
(3)      Batu saluran kemih
(4)      Anomali anatomi sistem urinari
(5)      Nyeri pinggang yang tidak bisa diterangkan penyebabnya
(6)      Nyeri kolik ginjal
(7)      Dicurigai terdapat tumor yang mengganggu fungsi saluran kencing-ginjal, ureter, kandung kemih, dan atau uretra

Kontraindikasi pemeriksaan ini adalah:
(1)      Kadar kreatinin >1,5
(2)      Alergi terhadap kontras (Aziz 2008).

Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menyarankan kepada klien agar melakukan puasa selama 6-8 jam agar pemeriksaan berjalan dengan lancar, selain itu juga dilakukan lavage. Syarat-syarat pemeriksaan ini adalah klien tidak memiliki alergi kontras dan fungsi ginjal baik.









Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan dengan IVU/IVP
(Tanagho dan McAninch, 1976)

3)   Sistoureteroskopi
Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan atau efek obstruksi (Borley 2006).
4)   CT-scan
Pemindaian CT-scan akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang ukuran dan lokasi batu. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengidentifikasi kalkuli dan masa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih. Sangat akurat mendiagnosa ureteral kalkuli, sensitifitas sangat tinggi untuk mengidentifikasi obstruksi. Selain itu, CT-scan juga sebagai Gold Standart dari pemeriksaan trauma urinari. Mengidentifikasi atau menggambarkan kalkuli dan massa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih  (Borley 2006).
Indikasi:
(1)      Obstruksi saluran kemih
(2)      BSK (Batu saluran kemih)
(3)      Trauma urinari
(4)      Kalkuli ureter
(5)      Distensi bladder









Gambar 2.7 Gambaran CT-scan
(Tanagho dan McAninch, 1976)

5)   Ultrasound ginjal (USG)
Ultrasonografi Doppler berwarna transabdomen untuk mendeteksi hilangnya “daya pancaran” ureter ke dalam kandung kemih juga dianjurkan sebagai pemeriksaan diagnostik pada klien dengan suspek urolithiasis (Leveno 2009).
USG ginjal digunakan untuk menunjukkan perubahan obstruksi, lokasi batu. Namun Saat ini, USG memiliki penggunaan yang terbatas dalam diagnosis urolithiasis dan stone of lower urinary. Ultrasonografi adalah teknik yang dapat membaca dengan cepat yang memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi batu ginjal. Penggunaan rutin USG paten pada klien yang mengalami kolik ginjal akut terbatas. Menariknya, jika batu ureter divisualisasikan oleh USG, temuan ini dapat diandalkan dengan spesifisitas dilaporkan 97%.
Meskipun peran untuk diagnostis terbatas, USG dapat memainkan peran penting untuk manajemen dan tindak lanjut untuk klien dengan urolithiasis. USG sangat sensitif terhadap hidronefrosis yang mungkin merupakan manifestasi dari obstruksi saluran kemih. Selain itu, ultrasonografi abdomen adalah modalitas penggambaran pilihan untuk evaluasi nyeri ginekologi, yang lebih umum daripada urolithiasis pada wanita usia subur. Klien dalam kelompok usia anak serta klien dengan riwayat batu nooradio calculi (asam urat) juga dapat dikelola radiografi dengan USG (Pearl dan Nakada, 2009).

Indikasi:
(1)     Suspek urolithiasis
(2)     Kolik ginjal
(3)     Batu ginjal
(4)     Hidronefrosis
(5)     Obstruksi saluran kemih
(6)     Batu asam urat
(7)     Nyeri ginekologi







Gambar 2.8 Gambaran USG Doppler
(Tanagho dan McAninch, 2008)

6)   Sistoskopi
Sistoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan menyisipkan sebuah tabung kecil fleksibel melalui uretra, yang memuat sebuah  lensa dan sistem pencahayaan yang membantu dokter untuk melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih untuk mengetahui kelainan dalam kandung kemih dan saluran kemih bawah.
Dengan prosedur ini, batu ginjal dapat diambil dari ureter, kandung kemih atau uretra, dan biopsi jaringan dapat dilakukan. Retrograde pielografi adalah pemasukan zat kontras melalui kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal, yang dapat dilakukan selama sistoskopi. Dan berguna untuk mengetahui kerusakan dari serabut-serabut otot pada kandung kemih (Chang 2009). Indikasi pemeriksaan ini yaitu klien dengan kelainan anomali bladder, saluran kemih, dan batu ginjal.
7)   Uroflowmetry dan Urodinamik
Berguna untuk mengukur kecepatan pengeluaran urin, tekanan bladder dan tekanan abdominal. Serta untuk mendeteksi pancaran kencing sehingga dapat mengetahui ada tidaknya kelainan pada saluran kencing bawah, seperti adanya kelainan prostat (BPH) maupun kelainan striktur uretra. Interpretasi yang bisa dilakukan yaitu dengan cara melihat nilai kecepatan pengeluaran urin (minimal 100 cc urin) sebagai berikut:
(1)     0 – 10 ml/s : Obstruksi
(2)     10-15 ml/s : Border line
(3) >15 ml/s     : Normal








Gambar 2.9 Mekanisme Uriflowmetry

Indikasi:
(1)      BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
(2)      Striktur uretra
(3)      Kelainan saluran kencing bagian bawah
                       
Urodinamik yaitu dengan dua kali tes uroflowmetry dengan volume urin <100cc.













Gambar 2.10 Mekanisme Urodinamik
8)   Magnetic Resonance Urography (MRU)
Magnetic resonance urography (MRU) memiliki peran minimal dalam diagnosis dan manajemen urolithiasis. MRU memberikan alternatif untuk NCCT dalam pengaturan klinis tertentu, termasuk klien anak-anak dan ibu hamil. MRU memberikan gambaran yang luar biasa dari saluran kemih dan telah terbukti memiliki akurasi diagnosis batu dari 92,8%. Peran sekarang dari MRU masih berkembang dan belum dianggap sebagai standar perawatan (Pearl dan Nakada, 2009).
Indikasi:
(1)   Hidronefrosis
(2)   Batu saluran kemih (BSK)
(3)   Obstruksi saluran kemih
(4)   Striktur uretra
9)   Renogram
Pemeriksaan yang dikhususkan untuk klien yang terkena staghorn stone. Berguna untuk menilai fungsi ginjal (Umamy 2007).



2.7    Penatalaksanaan Urolithiasis
Tujuan utama penatalaksanaan ini adalah untuk menghilangkan batu, mencegah kerusakan nefron, dan mengendalikan infeksi, serta mengurangi obstruksi yang terjadi. 
Ada beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada batu saluran empedu diantaranya:
1.    Terapi konservatif
1)              Terapi diet
Terapi diet ini terdiri dari terapi nutrisi dan terapi cairan. Terapi nutrisi berperan penting dalam mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat serta menghindari makanan tertentu dalam diet juga dapat mencegah pembentukan batu. Setiap klien yang memiliki riwayat batu renal harus minum paling sedikit 8 gelas air (+ 2-3 liter) dalam sehari untuk mempertahankan urin encer, kecuali dikontraindikasikan. Natrium selulosa fosfat telah diteliti lebih efektif dalam mencegah batu kalsium.  
Adapun makanan yang harus dihindari atau dibatasi antara lain:
(1)      Makanan kaya vitamin D meningkatkan reabsorbasi kalsium;
(2)      Garam meja dan makanan tinggi natrium, karena Na+ bersaing dengan Ca2+ dalam reabsorbasinya diginjal.
(3)      Makanan yang banyak mengandung purin penyebab asam urat adalah JAS BUKET (Jerohan, Alkohol, Sarden, Burung dara, Unggas, Kaldu, Emping, dan Tape), maupun BENJOL (Bebek, Emping, Nangka, Jerohan, Otak, dan Lemak).

Menurut Brunner And Suddarth (2002) Daftar makanan dan minuman yang harus dihindari adalah sebagai berikut:
1)   Produk susu     : Semua jenis keju, susu dan produk susu lainnya, krim asam.
2)   Daging, ikan.
3)   Sayuran           : Lobak, bayam, buncis, seledri, kedelai.
4)   Buah                : Kismis, semua jenis beri, anggur.
5)   Roti                 : Roti murni, gandum, catmeal, beras merah, jagung giling,
                                           sereal.
6)   Minuman         : Teh, coklat, minuman berkarbonat, bir, semua
  minuman yang dibuat dari susu atau produk susu.

2)   Terapi farmakologi
(1)     Antispasmodik
Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter.
(2)     Antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah dikeluarkan, batu ginjal dapat dianalisis dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya. Urin yang asam harus dibuat basa dengan preparat sitrat (Chang 2009).
(3)     Analgesik
Opioid (injeksi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat AINS (NSAID’s) seperti ketorolak dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri.
3)   Terapi kimiawi
(1)     Mempertahankan pH urin agar tidak terjadi kristalisasi batu
a.    NaCO3-                      : Membuat urin lebih alkali pada asam
b.    Asam askorbat      : Membuat urin lebih asam pada alkali pencetus
(2)     Mengurangi ekskresi dari substansi pembentuk batu
a.    Diuretik (tiazid)     : Menurunkan eksresi kalsium ke dalam urin dan   menurunkan kadar parathormon. Efek   samping  gangguan metabolik, dermatitis, purpura.
b.    Alupurinol (zyloprim): Mengatasi batu asam dengan menurunkan kadar asam urat plasma dan ekskresi asam  urat ke dalam urin. Efek samping mual,  diare, vertigo, mengantuk, sakit kepala.
4)   Herbal
Jus kulit manggis dan daun sirsak penghancur batu ginjal paling ampuh tanpa menimbulkan efek samping. Daun sirsak berfungsi sebagai diuretik alami penghambat terjadinya pembentukan batu yang baru dan penghancur batu yang telah terbentuk dengan sangat efektif. Selain itu juga sebagai antioksidan yang sangat tinggi berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh serta dapat mencegah infeksi dan melancarkan peredaran darah sehingga urin (hasil buangan akhir lebih sempurna). Serta banyak lagi kandungan daun sirsak seperti acetogenin, annocatin, annocatalin, annohexocin. annonacin, annomuricin, anomourine, anonol, caclourine, gentisic acid, gigantetronin, linoleid acid, muricapentosin yang sangat baik untuk penderita batu ginjal.
Selain daun sirsak, khasiat kulit manggis tidak kalah pentingnya. Kulit manggis mengandung suatu senyawa xanthone, yaitu zat antioksidan yang dapat melawan radikal bebas. Senyawa ini baik untuk mengikis endapan di dalam tubuh seperti batu ginjal, leburan batu ginjal akan terbuang bersama aliran urin.
2.    Terapi non invasif
1)   Pelarutan Batu
Jenis batu yang dapat dilarutkan adalah jenis batu asam urat. Batu ini hanya terjadi pada keadaan pH air kemih yang asam (pH 6,2) sehingga hanya dengan pemberian Natrium Bikarbonat (NaCO3-) disertai dengan makanan alkalis maka batu akan larut bersama urin. Namun, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemberian NaCO3- bersamaan Allopurinol akan memberikan hasil yang baik dengan menurunkan kadar asam urat air kemih.
Batu struvit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah pembesarannya bila diberikan pengobatan dengan pengasaman kemih dan pemberian antiurease. Bila terdapat kuman, harus segera ditindaklanjuti. Akan tetapi, infeksi pada urolithiasis sukar dihilangkan karena kuman ini berada di dalam batu yang tidak pernah dapat dicapai oleh antibiotik. Solutin G merupakan obat yang dapat diberikan langsung ke batu di kandung kemih. Selain Solutin G. juga dipakai obat Hemiasidrin untuk batu di ginjal dengan cara irigasi, tetapi hasilnya kurang memuaskan kecuali untuk batu sisa pasca bedah yang dapat diberikan melalui nefrostomi yang terpasang. Kemungkinan penyulit dengan pengobatan seperti ini adalah intoksikasi atau infeksi yang lebih berat (Sjamsuhidajat 2004).
2)   Penghancuran batu (Litotripsi)
Batu kandung kemih dapat dipecahkan dengan memakai litotriptor secara mekanis melalui sistoskopi atau dengan memakai gelombang elektrohidrolik atau ultrasonik. Sedangkan untuk batu ureter, digunakan ureteroskopi dan batu dapat dihancurkan memakai gelombang ultrasonik, elektrohidrolik, atau sinar laser. Beda halnya dengan batu ginjal yang menggunakan litotripsi dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa transduser melalui sonde ke batu yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi perkutan.
Terapi yang sering dipakai pada kasus ini adalah Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL). Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur dimana batu ginjal dan ureter dihancurkan menjadi fragmen-fragmen kecil dengan menggunakan gelombang kejut. Terapi non-invasif ini membuat klien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi. ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL, namun masih perlu ditinjau efektifitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan.
Menurut Sjamsuhidajat (2004) Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut, yaitu:
1)   Elektrohidrolik
Teknik ini paling sering digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut. Pengisian arus listrik voltase tinggi terjadi melintasi sebuah elektroda spark-gap yang terletak dalam kontainer berisi air. Pengisian ini menghasilkan gelembung uap, yang membesar dan kemudian pecah, membangkitkan gelombang energi bertekanan tinggi.
2)   Pizoelektrik
Pada teknik ini, ratusan sampai ribuan keramik atau kristal pizo dirangsang dengan denyut listrik energi tinggi. Ini menyebabkan vibrasi atau perpindahan cepat dari kristal sehingga menghasilkan gelombang kejut.
3)   Elektromagnetik
Aliran listrik di alirkan ke koil elektromagnet pada silinder berisi air. Lapangan magnetik menyebabkan membran metalik di dekatnya bergetar sehingga menyebabkan pergerakan cepat dari membran yang menghasilkan gelombang kejut.

Indikasi ESWL:
1.   Ukuran batu antara 1-3 cm atau 5-10 mm dengan gejala yang mengganggu.
2.   Lokasi batu di kaliks ginjal atau ureter distal
3.   Tidak adanya obstruksi ginjal distal dari batu
4.   Kondisi kesehatan klien memenuhi syarat (lihat kontraindikasi ESWL)
5.   Ukuran batunya tidak >10mm
6.   Terfiksir di saluran kemih

Kontraindikasi ESWL:
1.   Kontraindikasi Absolut
Adanya ISK akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi batu distal.
2.   Kontraindikasi Relatif
Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah:
1)   Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur.
2)   Berat badan >300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu, karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada klien seperti ini sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu
3)   Klien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malformasi ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh ESWL
4)   Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan anestesi.
5)   Klien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan pertimbangan khusus.
6)   Klien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan insidens hematom perirenal pasca terapi.
7)   Klien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi pasca terapi walaupun jarang terjadi.

Persiapan sebelum ESWL:
1.    Harus melalui serangkaian pemeriksaan laboratorium baik darah maupun urin untuk melihat fungsi ginjal, jenis batu, dan kesiapan fisik klien
2.    Pemeriksaan yang paling penting adalah rontgen atau USG untuk menentukan lokasi batu dan kemungkinan jenisnya.
3.    Berikan analgesik untuk untuk sedatif ringan
4.    Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi dan puasa minimal 4 jam sebelumnya.

Tindakan pasca ESWL:
1)   Evaluasi pemecahan dapat diketahui langsung (real time) baik dengan x ray dan atau USG
2)   Hidrasi yang baik untuk memperlancar keluarnya batu yaitu minimal 2 liter air sehari.
3)   Berikan Health Education mengenai keadaan nyeri saat post tindakan karena pecahan batu keluar spontan bersama urin terkadang sedikit tidak nyaman waktu kencing.
4)   Jika dianjurkan untuk analisa maka pecahan batu dikumpulkan untuk dianalisa dalam melihat komposisi batu dengan cara disaring untuk mencegah relaps.
3.    URS (Ureter Resection Cytoscopy/ Ureterorenoskopi)
Ureteroskopi adalah pengembangan dari sistoskopi dan berangsur-angsur menjadi bentuk teknik utama untuk diagnosis dan terapi kelainan di dalam ureter atau bahkan dengan ureterorenoskop fleksibel dapat dicapai semua kaliks dalam ginjal. Ureteronoskopi (URS) atau ureteropieloskopi adalah tindakan endoskopi ureter sampai pelvis renalis dengan menggunakan alat ureteroskop atau ureterorenoskop, dan digunakan untuk tujuan diagnostik dan intervensi terapetik. Sebenarnya URS merupakan pengembangan dari teknik sistoskopi. Alat URS dapat dimasukkan secara retrograde lewat orifisium ureter atau secara antegrade melalui trek nefrotomi.
URS adalah alat pemecah batu saluran kemih yang menggunakan power ultrasonik atau pneumatik. URS merupakan tindakan invasif secara minimal. Geratan yang digunakan high frequency sehingga hanya akan merusak batu namun aman bagi jaringan lunak. URS ini berguna untuk pemeriksaan batu yang letaknya di saluran kemih bagian bawah ureter dan kandung kemih. Cara penggunaan alat ini dimasukkan melalui penis.
Pada prosedur URS suatu endoskopi semi rigid atau fleksibel dimasukkan ke dalam ureter bagian lewat buli-buli di bawah anastesi umum atau regional. Dengan ureteroskop yang flaksibel dapat mencapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat dapat diambil atau dihancurkan dengan semua elektrohidroulik atau laser.
Indikasi URS yaitu besar batu > 4mm sampai 15mm.
4.    Metode endurologi
Bidang endourologi menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan urologi untuk mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor. Nefrostomi perkutan dilakukan dan nefroskopi dimasukkan ke traktus perkutan yang sudah dilebarkan ke dalam parenkim renal. Batu dapat diangkat dengan forceps atau jaring, tergantung dari ukurannya.
5.    Pengangkatan batu dengan pembedahan terbuka
Jika lokasi batu di dalam ginjal, pembedahan dapat dilakukan dengan nefrolitotomi, atau nefrektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Pembedahan yang sering dilakukan dengan laparoskopi. Pembedahan jenis ini digunakan untuk mengambil batu saluran kemih. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter diantaranya bedah terbuka:
1)   Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal
2)   Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter.
3)   Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria
4)   Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra.
2.8 Patofisiologis
     Tugas utama ginjal adalah mengeluarkan produk samping metabolisme yang meliputi kalsium, oksalat, dan asam urat. Ketika konsentrasi mineral tersebut meningkat, maka batu dapat terbentuk di traktus urinarius. Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Ada tidaknya zat inhibitor dalam urin, seperti magnesium, pirofosfat, sitrat dan substansi lain juga menjadi faktor yang menentukan dalam pembentukan batu (Chang 2009), karena substansi tersebut secara normal mencegah kristalisasi dalam urin (Smeltzer et. al, 2002).
Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan pada individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini mengabsorbsi oksalat secara berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urin, jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mapu membuntu saluran kemih. Oleh karena itu, agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi ­metastable dipengaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solut di dalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau danya korpus alineum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo 2011).
Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin sangat jenuh hingga terbentuk kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien dapat mempengaruhhi laju pembentukan batu karena batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi. Selain karena urin sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu sebelumnya atau pada individu yang stasis karena imobilitas (Chang 2009).
Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal (hidroureter). Ada pula beberapa batu yang menyebabkan sedikit gejala, namun secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih, sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan diseluruh area kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien sedang mengalami episode kolik renal (Smeltzer et. al, 2002).
Jenis nyeri ini disertai dengan  rasa sakit menetap di daerah kostovertebral (titik di bagian pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus sakrospinalis). Gejala gastrointestinal seperti diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi akibat dari refleks renointestinal dan proksimal anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar. Gejala kolik ginjal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatik berupa mual, muntah, kulit pucat, dingin dan lembab (Chang 2009).
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa gelombang nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Rasa nyeri hebat dan bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika berupaya untuk mendorong batu turun (Chang 2009).
Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat permukaan batu yang kasar dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau kandung kemih (sistitis) sehingga timbul demam, menggigil, sering berkemih, hematuria, rasa sakit dan terbakar ketika berkemih. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urin (Smeltzer et. al, 2002).
Jika batu berukuran kecil, dapat keluar tanpa gejala apa pun, namun jika ukurannya besar, dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Umumnya klien akan mengaluarkan batu dengan diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan (Smeltzer et. al, 2002).
Purnomo (2011) Menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar urologi” mengenai teori pembentukan batu saluran kemih.
Secara teoritis batu dapat berbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organik dan anorganik yang terlarut dalam urin.
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih juga ditentukan oleh adanya keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal, proses agregasi kristal hingga retensi kristal.

Terdapat beberapa teori dan faktor yang mempengaruhi pembentukan batu pada saluran kemih menurut Stoller (2000) di antaranya:
1)   Teori Fisika Kimiawi
Disebabkan adanya proses kimia, fisika, maupun gabungan fisika kimiawi adalah prinsip dari teori ini. Terjadinya pembentukan batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor risiko terdapat beberapa teori pembentukan batu secara fisika dan kimiawi yaitu:
(1)     Teori nukleus atau supersaturasi
Kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urin yang sudah mengalami supersaturasi sehingga terjadi kristalisasi batu. Syarat terjadi pengendapan atau dasar terpenting dalam pembentukan batu adalah supersaturasi urin dengan garam-garam pembentuk batu (Manuputty 2011).
(2)     Teori matriks
Menurut Manuputty (2011) Terdapat matriks organik yang berasal dari serum atau protein-protein urin yang berasal dari pemecahan mitokondria sel tubulus renalis juga memberikan kemungkinan terjadinya pengendapan kristal.
(3)     Teori inhibitor kristaliasasi
Terdapat substansi dalam urin yang menghambat terjadinya kristalisasi. Substansi tersebut meliputi peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat, magnesium, asam mukopolisakarida, sehingga jika substansi tersebut berkurang maka akan mempengaruhi terjadinya kristalisasi yang mengakibatkan terjadinya batu saluran kemih.
(4)     Teori epitaksis
Merupakan batu campuran yang terjadi karena kristal menempel pada kristal lain yang berbeda kemudian membesar. Proses ini disebut juga nukleasi heterogen. Kasus yang paling sering terjadi adalah menempelnya kristal kalsium oksalat pada kristal asam urat.
(5)     Teori kombinasi
Batu saluran kemih dianggap oleh para ahli terbentuk berdasarkan campuran teori yang ada.
(6)     Teori infeksi
Pada bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease. Pengaruh infeksi terhadap pembentukan batu saluran kemih dipengaruhi oleh pH air kemih >7 dan terbentuknya magnesium ammonium fosfat (batu struvit) akibat reaksi sintesis ammonium dengan molekul fosfat dan magnesium. Selain itu adanya bakteri berukuran kecil yang hidup dalam darah, ginjal, dan air kemih yang tergolong gram negatif dan sensitif terhadap tetrasiklin. Dinding bakteri tersebut membentuk cangkang kalsium kristal karbonat apatit dan membentuk inti batu kemudian kristal kalsium oksalat menempel dan lama kelamaan akan membesar.
2)   Teori Vaskuler
Stoller mengajukan teori vaskuler karena pada penderita didapat penyakit hipertensi dan kadar kolesterol darah yang tinggi.
(1)     Hipertensi
Aliran darah pada papilla ginjal berbelok 180 derajat dan aliran darah berubah dari aliran luminar menjadi turbulensi yang berakibat terjadinya pengendapan ion-ion kalsium papilla pada klien hipertensi yang disebut kalsifikasi ginjal yang dapat berubah menjadi batu. Selain itu, pada kondisi hipertensi juga menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sehingga berdampak pada obstruksi pembuluh darah yang memicu agregasi batu.
(2)     Diabetes mellitus (DM)
Penyakit DM juga bisa menyebabkan urolithiasis karena pada penyakit ini mengakibatkan viskositas darah meningkat sehingga darah menjadi semakin kental. Hal ini yang mengakibatkan mudahnya zat-zat asing mengalami kristalisasi sehingga terbentuk batu.

2.9 WOC
Infeksi

Zat Toksik
Obstruksi Saluran kemih
Vaskuler
 

Arteriosklerosis
MK : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Suplai nutrisi dalam darah turun
MK : Gangguan Perfusi Jaringan
MK: Intoleransi Aktivitas
Suplai O2 kasar turun
Oksihemoglobin turun
Produksi Hb turun
Sekresi Eritropoitis turun
Edema (kelebihan volume cairan)
vol. interstitial naik
Tek. Kapiler naik
Total CES naik
Retensi Na
Perubahan warna kulit
Urokrom tertimbun di kulit
Gang. Keseimbangan asam-basa
Perpospatemia
Sindrom Uremia
Sekresi protein terganggu
GGK
GFR turun
Anemia
Hematuria
Iritasi/Cidera Jaringan
Menekan saraf perifer
Batu besar dan kasar
Suplai Darah Ginjal turun
Reaksi antigen
antibodi
   
MK : Gangguan Integritas Kulit
Produksi asam naik
Asam lambung naik
Nausea, vomitus
Iritasi lambung
MK : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Infeksi
Perdarahan
Gastritis
-Hematemesis -Melena
Mual, muntah
Anemia
Preload naik
Beban jantung naik
Hipertrofi ventrikel kiri
Payah jantung kiri
Bendungan atrium kiri naik
Tekanan vena pulmonalis
Kapiler paru naik
Edema paru
MK : Gangguan pertukaran gas
COP turun
Aliran darah ginjal turun
RAA turun
Retensi Na &H2O naik
MK : Kelebihan volume cairan
Suplai O2 jaringan turun
Metab. anaerob
Timb. Asam laktat naik
-fatigue          -nyeri sendi
MK : Gangguan rasa nyaman: nyeri
Suplai O2 ke otak turun
Syncope (kehilangan kesadaran)
MK : Resiko Perdarahan
Retensi Urin
MK : Retensi Urin
MK : Resiko infeksi
Tertimbun Ginjal
 































2.10 Prognosis
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan masalah kesehatan yang cukup signifikan, baik di Indonesia maupun di dunia. Kejadian urolithiasis ini banyak dialami oleh pria dari pada wanita. Biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Di beberapa negara Eropa prevelensi kejadian urolithiasis sekitar 3 %. Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Semakin besar ukuran batunya, maka semakin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi. Semakin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi maka akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Umamy 2007).
Prevelensi penyakit ini diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa, dengan puncak usia dekade ketiga sampai keempat. Angka kejadian batu ginjal berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia tahun 2002 adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Selain itu, jumlah klien yang dirawat mencapai 19.018 orang, dengan mortalitas sebesar 378 orang.
Setelah keluarnya batu baik secara spontan (konsevatif) maupun dengan tindakan (seperti; bedah terbuka, ESWL,dll) perlu dilakukan tindakan pencegahan kekambuhan batu. Kekambuhan batu saluran kemih ini dapat terjadi pada 20-30% klien dan pada beberapa klien yang mengeluarkan batu secara spontan setiap tahun. Juga ada literatur yang mengatakan bahwa secara umum hampir 50% klien mengalami batu kambuhan dalam 5 tahun. Untuk itu diperlukan pemeriksaan darah dan urinalisa untuk mencari/menemukan faktor resiko untuk pembentukan batu (Stoller 2000).
Dalam kasus tertentu, IVU dapat dimanfaatkan untuk diagnosis urolithiasis pada kehamilan. Tingginya paparan radiasi terhadap ibu dan janin menjadi perhatian dan karena itu terbatas protokol 1-shot harus digunakan dengan radiograf diambil 10 menit setelah injeksi kontras. Seperti disebutkan sebelumnya, masa depan mungkin memiliki peran untuk MRU. Spencer et al. melaporkan bahwa MRU adalah modalitas yang sangat kuat dalam penyelidikan hidronefrosis selama kehamilan. Selain itu juga digunakan mengidentifikasi tanda-tanda obstruktif lainnya seperti hidronefrosis dan hidroureter (Pearl dan Nakada, 2009).




























BAB 3
Asuhan Keperawatan Umum
3.1 Pengkajian
1.    Anamnesa
1)   Data demografi
Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis, agama, suku bangsa klien dan keluarga penanggung jawabnya.
2)   Riwayat kesehatan
(1)     Keluhan utama
Keluhan dari klien bergantung pada posisi atau letak batu, ukuran batu, dan penyulit yang ada. Nyeri akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik di daerah abdomen bagian bawah yakni berawal dari area renal meluas secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Nyeri yang dirasakan bisa berupa nyeri kolik atupun non kolik. Nyeri kolik hilang timbul akibat spasme otot polos ureter karena peningkatan aktivitas untuk mengeluarkan batu. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ureter karena hidronefrosis atau infeksi pada ureter. Apabila urolithiasis disertai dengan adanya infeksi maka demam juga akan dikeluhkan. Keluhan kencing seperti disuria, retensi urin atau gangguan miksi lainnya dikeluhkan klien saat pertama datang ke tenaga kesehatan.
(2)     Riwayat penyakit sekarang
Klien awalnya mengeluhkan perubahan gangguan eliminasi urin yang dialami (oliguria, disuria, hematuria). Biasanya seiring berjalannya waktu dan tingkat keparahan penyakit maka nyeri mulai dirasakan dan nyeri ini bersifat progresif. Respon dari nyeri itu sendiri yakni munculnya gangguan gastrointestinal, seperti keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang menimbulkan manfestasi penurunan asupan nutrisi umum. Mengkaji berapa lama dan berapa kali keluhan tersebut dirasakan, apa yang dilakukan, kapan keluhan tersebut muncul adalah penting untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit.
(3)     Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat batu ginjal sebelumnya, riwayat mengalami gangguan haluaran urin sebelumnya, riwayat ISK, riwayat hiperkalsemia ataupun hiperkalsiuria, riwayat hiperparatiroidisme, riwayat penyakit kanker (berhubungan dengan adanya malignansi), dan riwayat hipertensi yang bisa menjadi faktor penyulit pada kasus urolithiasis, penderita osteoporosis yang menggunakan obat dengan kadar kalsium yang tinggi.
(4)     Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pernah menderita urolithiasis, adanya riwayat ISK, riwayat hipertensi, riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, gout, riwayat penyakit usus halus, riwayat bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme.
3)   Riwayat penggunaan obat
Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik, opioda, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin.
2.    Pemeriksaan Fisik
1)   Kepala dan leher: Kepala normal dan bentuk simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak a
2)   da keterbatasan gerak leher.
3)   Mata: Mata normal
4)   Hidung: Hidung normal, jalan nafas efektif, tidak menggunakan pernapasan cuping hidung.
5)   Telinga: Fungsi pendengaran kien baik.
6)   Mulut dan gigi: mukosa bibir kering atau lembab, tidak ada peradangan pada mulut, mulut dan lidah bersih.
7)   Dada
(1)     Inspeksi: Dada klien simetris.
(2)     Palpasi: Dada klien simetris tidak ditemukan adanya benjolan.
(3)     Perkusi: Tidak ditemukan adanya penumpukan sekret, cairan atau darah di daerah paru.
(4)     Auskultasi: Suara napas normal, dan terdengar suara jantung.
8)   Abdomen
(1)     Inspeksi: Warna kulit, turgor kulit baik.
(2)     Auskultasi: Peristaltik usus 12x/menit
(3)     Palpasi: Adanya nyeri tekan pada abdomen kiri bawah
(4)     Perkusi: -
9)   Genetalia: Hasil pengkajian keadaan umum dan fungsi genetalia tidak ditemukan adanya keluhan atau kelainan bentuk anatomi.
10)    Pola aktifitas: Perkejaan yang dilakukan monoton seperti sopir bus.
11)    Pola sirkulasi: Adanya peningkatan TD/nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal). Kulit hangat dan kemerahan, pucat.
12)    Pola eliminasi: Riwayat adanya ISK Kronis atau obstruksi sebelumnya (kalkulus). Terjadi penurunan haluaran urin yang ditandai dengan adanya rasa seperti terbakar, oliguria, hematuria, piuria, perubahan pola berkemih.
13)    Pola intake makanan dan cairan: Klien mual dan muntah, nyeri tekan pada abdomen. Diet rendah purin, kalsium oksalat, dan fosfat. Ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum air dengan cukup yang ditandai dengan distensi abdomen, penurunan suara bising usus.
14)    Nyeri: Terjadi secara akut atau bisa juga terjadi nyeri kronik. Lokasi nyeri tergantung pada lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebral (CVA) dan dapat menyebar ke seluruh punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha serta genitalia. Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain yang ditandai dengan prilaku distraksi, terjadi demam dan menggigil.

Pemeriksaan fisik dengan metode ROS:
1.      B1 (breathing)
Pola napas cepat dan dalam pada kussmaul menunjukkan adanya asidosis metabolik. Jika memberat, edema paru bisa ditemukan menjadi penyakit paru uremik (edema paru nonkardiogenik). Ronkhi terdengar karena beban volume berlebihan pada paru sebagai akibat dari retensi natrium dan air. Klien sering mengalami infeksi karena imunosupresi pada gagal ginjal terminal.
2.      B2 (blood)
Gagal ginjal kronik bisa memicu gagal jantung kongestif. Sedangkan gagal ginjal terminal dapat menimbulkan manifestasi anemia karena eritopoiesis. Keadaan hidrasi klien penting diperiksa pada semua klien dengan masalah kesehatan yang berhubungan dengan sistem perkemihan.
3.      B3 (brain)
Periksa adanya anemia dan ikterus (jarang ditemukan) sebagai akibat dari retensi nitrogen yang menyebabkan hemolisis. Fetor uremikum (bau amoniak hasil pemecahan urea di dalam saliva). Stomatitis dan ulkus dapat dijumpai karena ada penurunan aliran saliva sehingga memunculkan risiko infeksi. Pada sistem persarafan sendiri, pada klien kronis berat adalah somnolen sampai koma karena retensi nitrogen atau toksik.
4.      B4 (bladder)
a.    Inspeksi
a)    Amati pembesaran pada daerah pinggang dan abdomen yang mungkin terlihat karena adanya hidronefrosis.
b)   Pemeriksaan eliminasi urin
Perubahan yang terjadi biasanya adalah perubahan pancaran miksi akibat dari obstruksi pada saluran kemih atau kelainan neurologis atau pascatrauma pada saluran kemih.
c) Pemeriksaan genitalia eksterna
Mencakup genitalia eksternal dan cincin. Melalui inspeksi, perhatikan adanya kelainan pada penis dan uretra, misalnya mikropenis, makropenis, hipospadia, kordae, epispadia, stenosis pada meatus eksterna, fimosis/parafimosis, fistel uretrokutan, ulkus, tumor, dan keganasan penis.
d)           Maturitas seksual
Mengkaji kematangan seksual klien, dari ukuran dan bentuk penis dan testis, warm dan tekstur kulit skrotum dengan karakternya, dan distribusi rambut pubis. Inspeksi juga kulit yang menutup genitalia untuk kutu,ruam, ekskoriasi, ataupun lesi.
e) Penis
Inspeksi struktur penis, termasuk batang, korona, prepusium, glans, dan meatus uretra untuk mengkaji adanya lesi. Vena dorsalis harus terlihat saat inspeksi. Lakukan palpasi untuk mengkaji adanya nyeri ataupun kondisi abnormal.
f) Skrotum
Inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan juga adanya lesi dan edema.
b.     Auskultasi
Kaji adanya bruit renal dan paling terdengar tepat di atas umbilikus sekitar 2cm dari sisi kanan atau sisi kiri garis tengah.
c.    Perkusi
Memberikan ketokan pada sudut kostovertebra (CVA). Pada klien dengan pielonefritis, batu ginjal pada pelvis, dan batu ureter akan terasa nyeri.
d.    Palpasi
Ginjal teraba unilateral
Ginjal teraba bilateral
Hipernefroma (kasrsinoma sel ginjal)
Karsinoma sel ginjal bilateral
Hidronefrosis atau pionefrosis
Hidronefrosis atau pionefrosis bilateral
Ginjal polikistik (dengan pembesaran yang asimetris)
Ginjal polikistik      
Ginjal kanan normal/ginjal soliter
Sindrom nefrotik, nefropati diabetika

Pemeriksaan kandung kemih dengan palpasi dan perkusi kandung kemih dilakukan untuk menentukan batasnya dan adanya nyeri tekan pada area suprasimfisis. Perhatikan adanya benjolam atau masa atau jaringan parut di suprasimfisis. Masa yang teraba mungkin merupakan kandung kemih yang penuh sebagai akibat dari retensi urin yang dialami.
5.      B5 (bowel)
Stomatitis dan bau amonia pada klien dengan masalah ginjal dapat menimbulkan anoreksia yang berpotensi pada penurunan pemenuhan nutrisi tubuh. Selain itu, ulkus mukosa mulut dan lambung dapat memperberat anoreksia lebih lagi. Kaji adanya asites di abdomen akibat berkumpulnya cairan karena sindrom nefrotik sebab hipoalbuminemia.
6.      B6  (bone)
Kulit dapat kekuningan akibat gagal ginjal kronis atau abu-abu sampai merah tua akibat desposisi zat besi pada klien yang melakukan transfusi darah multipel. Sedangan kuku klien biasanya ada leukonikia karena hipoalbumin, yang ditandai dengan proteinuria berat (>3,5 gr/24jam), kadar albumin serum rendah (<30 g/l) dan edema karena kerusakan pada glomerulus. Edema ekstremitas (pitting edema) juga mungkin ditemui.

3.2 Analisa Data
NO
DATA
ETIOLOGI
MK
1.
DS: klien mengeluh nyeri pada pinggang (S) menjalar sampai meatus uretra
DO: wajah klien meringis kesakitan.
P: nyeri timbul karena adanya distensi pada ureter
Q: nyeri kolik
R: pinggang (S) sampai meatus uretra
S: skala nyeri 7 (dari 0-10) wajah meringis kesakitan dan lutut menekuk untuk menahan sakit
T: nyeri hilang timbul dan nyeri hebat saat berkemih
Urolithiasis

Obstruksi pada traktus urinarius

Tekanan hidrostatik meningkat

Distensi pada ureter proksimal

Frekuensi kontraksi ureter meningkat
 

Peningkatan tekanan pada dinding ureter
 

Trauma

Terputusnya saraf

Melepaskan reseptor nyeri

Nyeri
Nyeri Akut

2.
DS: klien mengatakan sulit BAK dan hanya keluar sedikit serta sering BAK malam hari
DO:
1.    BAK output 1000 cc/hari berwarna kuning jernih dan intake cairan 1500 cc/hari.
2.    Distensi abdomen bagian bawah (daerah simpisis)
3.    Disuria
4.    Hesistensi
5.    Retensi urin

Obstruksi pada traktus urinarius
 

Penurunan reabsorbsi dan sekresi turbulensi ginjal
 

Gangguan fungsi ginjal
 

Penurunan produksi urin
(tertahan di kandung kemih)




Retensi Urin
3.
DS : Suhu tubuh px meningkat
DO :
- Hematuria
- Px menggunakan alat bantu kateter

Urolithiasis

Adanya batu di uretra

Batu terdorong oleh urin dan melukai uretra

Pemasangan alat bantu kateter

Hygiene kurang

Infeksi
Risiko Infeksi

3.3 Diagnosa Keperawatan
1.    Nyeri akut b.d peningkatan frekuensi dorongan dan gesekan pada saluran kemih
2.    Retensi urin b.d obstruksi saluran kemih
3.    Risiko infeksi b.d prosedur invasif (Sistoskopi atau penggunaan kateter)

3.3 Intervensi
No
Diagnosa  Keperawatan
NOC
NIC
1.       
Nyeri akut b.d  peningkatan frekuensi dorongan gesekan pada saluran kemih


Tujuan:
Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang. 

Kriteria hasil:
1.    Nyeri terkontrol yang dilihat dari indikator:
1)   Klien menuliskan gejala nyeri berkurang (skala 1-5)
2)   Klien dapat menjelaskan faktor penyebab nyeri
3)   Klien dapat mengetahui intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri (farmaka dan non farmaka)
4)   Klien melaporkan perubahan gejala nyeri yang terkontrol pada tim medis
5)   Klien mengetahui onset nyeri
2.    Level nyeri
1)  Laporan nyeri
2)  Durasi nyeri
3)  Ekspresi wajah klien
4)  Tidak terjadi diaporesis
3.    TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, Nadi: 16-20x/menit)
4)       
MANAJEMEN NYERI (KONTROL NYERI)
1.   Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
2.   Observasi ekspresi klien secara non verbal agar mengetahui tingkat nyeri
3.   Kolaborasi pemberian analgesik sesuai advis dokter dan monitoring respon klien
4.   Kaji pengetahuan dan perasaan klien mengenai nyerinya
5.   Kaji dampak nyeri terhadap kualitas hidup klien (ADL)
6.   Ajak klien untuk mengkaji faktor yang dapat memperburuk nyeri
7.   Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi ketidaknyamanan klien
8.   Ajarkan teknik nonfarmakologi (relaksasi, terapi musik, distraksi, terapi aktifitas, masase) 
2.       
Retensi urin b.d  obstruksi saluran kemih
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam retensi urin klien dapat teratasi.

Kriteria Hasil:
1.     Kandung kemih kosong secara penuh
2.     Tidak ada residu urin >100-200 cc
3.     Intake cairan dalam rentang normal
4.     Bebas dari ISK
5.     Tidak ada spasme bladder
6.    Balance cairan seimbang
7.    Level nyeri
1)  Laporan nyeri
2)  Durasi nyeri
3)  Ekspresi wajah klien
4)  Tidak terjadi diaporesis
8.  Eliminasi urin optimal dilihat dari indikator:
1)  Pola berkemih
2)  Jumlah urin
3)  Warna urin
4)  Intake cairan
5)  Kejernihan urin
6)  Bau urin
1.   Urinary Retention Care
1)      Monitor intake dan output
2)      Monitor penggunaan obat antikolinergik
3)      Monitor derajat distensi bladder
4)      Instruksikan pada klien dan keluarga untuk mencatat output urine
5)      Sediakan privasi untuk eliminasi
6)      Stimulasi refleks bladder dengan kompres dingin pada abdomen.
7)      Kateterisaai jika perlu
8)      Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria, perubahan bau dan konsistensi urine)
2.   Monitoring kadar albumin, protein total
3.   Lakukan perawatan perineal dan perawatan selang kateter
4.   Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
5.   Ajarkan serta demonstrasikan kepada klien dan anggota keluarga tentang teknik berkemih yang akan digunakan di rumah. Sehingga klien dan keluarga mampu melakukannya dengan mandiri.
6.   Kolaborasikan obat diuretik
3.       
Risiko infeksi b.d prosedur invasif (Sistoskopi atau penggunaan kateter)

Faktor-faktor
risiko :
1. Prosedur
Invasif
2. Inadekuat pertahanan sekunder
(penurunan Hb, Leukopenia,
penekanan respon inflamasi)
c)       
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam infeksi pada klien dapat terkontrol

Kriteria Hasil:
1.     Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi (tumor, dolor, rubor, kolor, fungsio laesa)
2.     Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
3.     Jumlah leukosit dalam batas normal (4000 10.000/mm3)
4.     Status imunitas baik dilihat dari indikator:
1)      Suhu tubuh
2)      Fungsi respirasi
3)      Fungsi gastrointestinal
4)      Fungsi genitourinaria
5)      Integritas kulit
6)      Integritas mukosa
KONTROL INFEKSI
1.   Pertahankan teknik aseptif
2.   Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
3.     Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
4.     Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kemih
5.     Tingkatkan intake nutrisi
6.     Dorong klien untuk memenuhi intake cairan
7.     Berikan terapi antibiotik

PROTEKSI TERHADAP INFEKSI
1.  Monitoring tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2.   Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
3.  Monitoring adanya luka
4.  Batasi pengunjung bila perlu
5.  Dorong klien untuk istirahat
6.  Ajarkan klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
7.  Kaji suhu badan pada klien neutropenia setiap 4 jam
8.  Laporkan kecurigaan infeksi































BAB 4
Penutup

4.1 Kesimpulan
Urolithiasis merupakan penyakit batu saluran kemih sedangkan nefrolithiasis merujuk pada  penyakit batu ginjal. Urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam system perkemihan.
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).  Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya obsrtuksi, infeksi, dan edema
Untuk penatalaksanaan Urolithiasis  menggunakan beberapa teori, yaitu Konserfatif, terapi farmakologi dan terapi kimiawi


Daftar Pustaka
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnosis: Definitions 7 Classification 2015-2017 Tenth Edition. UK NANDA International, Inc.
Borley, P. A. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga
Bulecheck G. et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier: Saunders
Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Ed.3. Jakarta: EGC
Moorhead et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. Elsevier: Saunders
Nursalam .2006. Sistem Perkemihan.Jakarta : Salemba Medika
Pearl, MS., Nakada, SY. 2009. Medical and Surgical Management of Urolithiasis. Informa: UK
Purnomo, Basuki.2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC
Stoller ML Bolton DM Urinary Stone Disease In: Tanagho EA, Mc Aninch JW Smith’s General Urology,ed.5. New York: Mc Graw-Hill Companie, 2000, 291-316.
Suharyanto, Toto dan Madjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Syaifuddin,H. 2011. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi Edisi ke  tiga. Jakarta :EGC
Umamy, V. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga by Pierce A. Grace & Neil R. Borley. Jakarta: Penerbit Erlangga





1 komentar: