BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Istilah Neurogenic
bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun
menunjukkan etiologinya, melainkan lebih
menunjukkan suatu gangguan
fungsi urologi akibat kelainan
neurologis. Fungsi kandung
kemih normal memerlukan
aktivitas yang terintegrasi
antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari
berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke
medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan
vesica urinaria dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat. Banyak
penyebab yang mendasari timbulnya Neurogenic bladder sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan (Peter,2012).
Prevalensi dan perjalanan penyakit Neurogenik Bladder pada tahun 2004,
diperkirakan bahwa 247.000 orang Amerika hidup dengan cedera sumsum tulang
belakang. Perkiraan insidence dari cedera tulang belakang bervariasi dari 21,2
per juta penduduk menjadi 60 per juta, sekitar 85% dari cedera ini mempengaruhi
segmen tulang belakang terletak di atas vertebra toraks kedua belas dan lesi
ini biasanya menghasilkan refleks inkotinensia urin. Reflex inkontinensia
urin juga dapat terjadi antara
orang-orang dengan penyakit dengan gangguan intervetebral, stenosis tulang
belakang, dan spondylosis serviks. Th eprevalence kondisi ini tidak diketahui,
tapi kejadian tahunan intervensi bedah untuk masalah ini telah diperkirakan
52,3 per 100.000 penduduk. (Dorothy,2006)
Neurogenik bladder berkisar antara kurang
berfugsi hingga overaktivitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena.
Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang
berfungsi atau overaktivitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung
kemih. Terapi yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan perawatan
medis yang bagus dan perawatan bersama dengan bermacam pemeriksaan klinis,
meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih.
Neurogenik bladder akan meningkat
jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika
neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%-90% pasien dengan multiple
sclerosis, 37%-72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan
stroke (Langsang, 2004). Diperkirakan bahwa 70%-84% pasien dengan spinal cord
injury paling tidak mempunyai gangguan di kandung kermih (Manack,2011)
Terapi optimal untuk Neurogenik
Bladder tergantung pada evaluasi
menyeluruh, diikuti terapi semua penyebab yang ada dan faktor yang berperan. Timbulnya
gejala biasanya multifaktor, dan terapi
multimodal yang meliputi konservatif dan operatif dapat diberikan.
(Dorothy,2006)
Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga
keperawatan yang professional dalam memberikan asuhan keperawatan di rumah
sakit pada pasien maupun keluarga pasien.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1
TujuanUmum
Setelah proses
pembelajaran mata kuliah Keperawatan Perkemihan I diharapkan mahasiswa semester 6 mampu menjelaskan
tentang konsep penyakit neurogenic bladder serta pendekatan asuhan
keperawatannya.
1.2.2
TujuanKhusus
1. Mengidentifikasi
anatomi fisiologi dari kandung kemih.
2. Menjelaskan
definisi dari Neurogenic Bladder.
3. Mengidentifikasi
definisi dari neurogenic bladder.
4. Mengidentifikasi
etiologi neurogenic bladder.
5. Mengidentifikasi
manifestasi klinis neurogenic bladder.
6. Menguraikan
patofisiologi neurogenic bladder.
7. Mengidentifikasi
penatalaksaan serta pencegahan pada neurogenic bladder.
8. Mengidentifikasi
komplikasi dari neurogenic bladder.
9. Mengidentifikasi
prognosis dari neurogenic bladder
1.3 Manfaat
Penulisan makalah
ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh pembaca dan penulis untuk mengetahui
dan menambah wawasan tentang Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan,
terutama Asuhan Keperawatan pada klien dengan Neurogenic Bladder.
Mahasiswa mengerti tentang
neurogenic bladder sehingga dapat menunjang pembelajaran perkuliahan pada mata
kuliah Keperawatan Perkemihan. Mahasiswa mengerti tentang proses asuhan
keperawatan yang dilakukan pada klien dengan Neurogenic Bladder sehingga dapat
menjadi bekal saat melakukan proses asuhan keperawatan selama dirumah sakit.
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi dan Fisiologis
1.
Kandung Kemih (Bladder)
Dasar
dari neuroanatomy dan neurofisiologis dari saluran kencing atas dan saluran
kencing bawah harus dimengerti sebelum menentukan management kasus kandung
kemih. Fungsi normal berkemih pada kantung bladder adalah pengisian bladder,
penyimpanan urin, dan pengosongan bladder (A.J. Wein, 2007).
Ginjal
menerima setidaknya 25% dari curah jantung, memfilter 180 L darah perharinya
dan mengekskresikann urin 1 L perharinya. Filter urin akan melewati ureter dan
akan disimpan di dalam kandung empedu. Panjang ureter kurang lebih 25-30 cm.
Terdapat uretrovesikular yang merupakan katup untuk mencegah reflux urine dari
kandung kemih menuju ke ginjal.
Kandung
kemih memiliki kapasitas normal 400-500 cc higga tekanan di dalam bladder 4060
mmHg, secara anatomi kandung empedu terrsusun dari otot destrusor yaitu oto
polos. Pada masa kanak-kanak , kandung kemih ditemukan dalam perut. Pada masa remaja
dan sampai dewasa ,kandung kemih posisinya dalam panggul sejati (Smeltzer &
Bare, 2004).
(Gambar 2. Lokasi
Blader pada lelaki)
|
(Gambar 1. Lokasi
Bladder pada wanita)
|
(Gambar 3. Female
Bladder)
|
(Gambar 4. Male
Bladder)
|
2.
Struktur otot destrusor dan sfingter
Kandung
kemih tersusun atas otot polos dan apabila berkontraksi menyebabkan pengosongan
kandung kemih. Kandung kemih memiliki 2 spincter uretra yaitu, spincter
internal (otot polos) terdapat pada leher dan bagian atas kandung kemih dan
juga spincter external (otot lurik) yang volunter terdapat di membran uretra
pada wanita, dan pada lelaki terletak pada distal dari prostat.
Spincter
internal mencegah terjadinya ejakulasi retrograde dan spincter external akan
berelaksasi pada awal proses miksi dan berada di bawah kendali volunter oleh
sistem saraf dan dapat mencegah miksi secara sadar.
(Gambar 4. Struktur
Bladder)
|
3. Persyarafan dari vesica
urinaria dan sfingter
(Faiz and Moffat,
2004; Snell, 2006; Waxman, 2010)
a. Persarafan parasimpatis (Nervus Pelvikus)
Pengaturan fungsi
motorik dari otot
detrusor utama berasal
dari serabut preganglion
parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula
spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner keluar dari medula spinalis
bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus
parasimpatis di pelvis.
Serabut
saraf sensorik akan mendeteksi peregangan dalam kandung kemih, sinyal regangan
ini akan berperan utama untuk memicu refleks pengosonga kandung kemih.
Serabut
saraf motorik merupakan serabut saraf parasimpatis dan berakhir di sel ganglion
yag terletak dikandung kemih kemudian akan mempersarafi otot destrusor untuk
pengosongan kandung kemih.
b. Persarafan Simpatis (Nervus Hipogastrik dan
rantai simpatis sakral)
Kandung
kemih juga mendapatkan persarafan simpatis dari rangakain simpatis nervus
hipogastrik, berhungan dengansegmen L2 medula spinalis. Serabut simpatis ini
merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap kontraksi kandung
kemih. (Guyton, 2012)
Saat
ejakulasi pada seorang pria, aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan penutupan
dari leher kandung kemih untuk mencegah ejakulasi retrogade atau masuknya
cairan seminalis ke vesica urinaria (Japardi, 2002)
c.
Persarafan Somatik (Nervus Pudendus)
Otot lurik
dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius yang
mendapat persarafan somatik.
Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula
spinalis pada S2, S3, dan S4.
Serabut
motorik skeletal yang dibawa melalui saraf pudendus ke sfingter eksterna
kandung kemih. Saraf ini merupakan serabut saraf somatic yang mempersarafi dan
mengatur otot lurik volunter pada sfinter tersebut.
Otot
lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktur urinarius
yang mendapat persarafan somatis, tidak hanya menginnervasi sfingter uretra
akan tetapi sfingter anal juga terinnervasi oleh saraf ini.
d.
Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian
besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus
suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari
serabut ini mengandung substansi
P, ATP atau
calcitonin gene-related peptide
dan pelepasannya dapat mengubah
eksitabilitas otot, serabut
pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik
motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis
torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf
aferen. Serabut aferen yang berjalan
dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi vesica urinaria tampaknya
merupakan hal yang terpenting pada fungsi vesica urinaria yang normal. Akson
aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik
tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan beberapa sensasi dari distensi
vesica urinaria dan nyeri.
4. Hubungan dengan susunan saraf pusat (Faiz and Moffat, 2004; Snell,2006)
a. Pusat Miksi Pons
Pons
merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-bulbospinal atau long
loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan
titik pengaturan (switch point)
dimana refleks transpinal-bulber
diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan vesica
urinaria. Pusat miksi pons berperan sebagai pusat pengaturan yang mengatur
refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak.
b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal
dapat menimbulkan gangguan
miksi berupa urgensi,
inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine.
Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya vesica urinaria yang hiperrefleksi.
3. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter vesica urinaria (Guyton, 2007;
Sherwood, 2001)
a. Pengisian urine
Refleks
berkemih terpicu ketika reseptor regang di dalam dinding kandung kemih
terangsang, semakin besar tegangan semakin besar tingkat pengaktifan reseptor.
Impuls berjalan ke medula spinalis dan akhirnya merangsang saraf parasimpatis
dan menghambat neuron motorik ke sfingter eksternus.
Stimulasi
saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan kandung kemih ini berkontraksi.
Kontraksinya kandung kemih akan secara mekanis membuka sfingter internus.
Secara bersamaan sfingter eksternus berelaksasi (membuka) karena neuron
motoriknya dihambat. Kini kedua sfingter terbuka dan urin terdorong melalui
uretra oleh gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung kemih.
b.
Kontrol Volunter Berkemih
Selain
memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih juga menyadarkan yang
bersangkutan akan keinginan untuk berkemih. Persepsi penuhnya kandung kemih
muncul sebelum sfingter eksternus relaksasi. Akibatnya kontrol volunter
berkemih yang dipelajari selama toilet
training pada masa anak-anak dapat mengalahkan refleks berkemih sehingga
pengosongan kandung kemih dapat berlangsung sesuai keinginan yang bersangkutan
Jika
waktu refleks miksi tersebut dinilai kurang sesuai untuk berkemih, maka yang
bersangkutan dapat dengan sengaja mencegah pengosongan kandung kemih dengan
mengencangkan sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Impuls eksitaktorik
volunter dari korteks serebri mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari
reseptor regang ke neuron motorik yang terlibat sehingga otot sfingter
eksternus tetap berkontraksi dan tidak ada urin yang keluar.
Berkemih tidak dapat ditahan selamanya karena
kandung kemih akan terus terisi maka sinyal refleks dari reseptor regang
meningkat seiring waktu, akhirnya sinyal inhibitorik refleks ke neuron motorik
sfingter eksternus menjadi sedemikian kuat dan tidak dapat diatasi lagi oleh
sinyal eksitaktorik volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara
tak terkontrol mengosongkan isinya.
2.2 Definisi dan Klasifikasi
Neurogenic
bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf
pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini
bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi
(underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu aktif dan melakukan
pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali (overactive
bladder) (Rackley, 2009; Waxman, 2010)
Dengan
menggunakan sistem ini maka neurogenic bladder diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Lesi diatas pusat miksi pons, contoh: stroke atau tumor otak
2. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis, contoh: trauma
medula spinalis, atau multiple sclerosis medula spinalis
3. Lesi di sacral medula spinalis
4. Lesi di sacral medula spinalis dan kerusakan nervus pudendus
5. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Neurogenic Bladder juga dikelompokkan dalam 3
besar oleh Saputra (2002), yaitu:
1. Neurogenic
Bladder Spastik: lesi diatas pusat miksi di sakral medula spinalis
2.
Neurogenik Bladder
Flassid: Lesi dibawah pusat miksi di sakral medula spinalis
3.
Neurogenik Bladder
Campuran: Lesi terdapat di atas dan di bawah pusat miksi di sakral medula
spinalis
Berikut klasifikasi
neurogenic bladder menurut Carpenitto (2009):
a.
Neurogenic
Bladder otonom
Merupakan hasil dari kerusakandaripusatkandung kemihdi sumsum tulang belakang sacralpada
atau di bawahT12-L1. klien merasa
ada sensasi sadar untuk membatalkan dan tidak memiliki refleks berkemih.
b.
Neurogenic Bladder
reflex
Kerusakan antara sumsum
tulang belakang sakral dan korteks serebral , di atas T12 - L1 . Klien tidak
memiliki sensasi untuk membatalkan dan tidak bisa membatalkan atas keinginannya
. The constractions detrusor unhibited
mungkin buruk dipertahankan dengan pengosongan kandung kemih tidak efisien .
Jika refles berkemih busur utuh , refleks berkemih dapat terjadi . Jika ada detrusor - spincter dyssynergy , akan
ada peningkatan tekanan kandung kemih dan urine sisa yang tinggi .
c.
Neurogenic Bladder
kelumpuhan motorik
Terjadi ketika ada
kerusakan pada sel-sel tanduk anterior dari akar ventral S2 - S4 dan kerusakan
reflek berkemih . Klien memiliki sensasi utuh , tetapi mengalami hilangnya
sebagian atau seluruh fungsi motorik. Kapasitas kandung kemih dapat meningkat
dengan urin residual yang besar . kemuungkinan ada inkontinensia overflow.
d.
Neurogenic
Bladder kelumpuhansensorik
Terjadi
ketika akar dorsal S2-S4
atau jalur sensorik ke korteks serebral mengalami kerusakan. Klien
kehilangan sensasi, tetapi dapat mengontrol kapasitas
kandung kemih.
e.
Neurogenic Bladder uninhibitited
hasil dari kerusakan
pada kandung kemih pusat di korteks serebral . Klien memiliki sensasi terbatas
terhadap distensi kandung kemih , tetapi tidak memiliki kemampuan untuk
menghambat buang air kecil . Urgensi yang merupakan hasil dari waktu yang
singkat antara sensasi yang terbatas untuk membatalkan dan kandung kemih
berkontraksi tanpa hambatan . Kandung kemih biasanya dalam kondisi kosong
sepenuhnya.
2.3 Etiologi
Berdasarkan
penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a. Struktur uretra kongenital
a. Struktur uretra kongenital
Striktur
ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat
striktur ini adalah stationer dan
biasanya timbul terpisah atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang
lain.
b.
Struktur uretra traumatik
Trauma
ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen, infeksi,
spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur sambungan atau
oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada daerah kemaluan
dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik dalam waktu 1
bulan. Striktur akibat trauma lebih progresif daripada striktur akibat infeksi.
Pada ruftur ini ditemukan adanya hematuria gross.
c.
Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh
infeksi veneral. Timbulnya lebih lambat daripada striktur traumatik
2.4
Manifestasi Klinis
1.Pancaran
air kencing lemah
2.
Pancaran air kencing bercabang
Pada
pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran urinnya.
Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau terjadi penyempitan karena striktur, maka
pancarannya akan jadi turbulen.
3. Frekuensi
Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari
normal, yaitu lebih dari tujuh kali. Apabila sering
krencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan nocturia apabila di malam
hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kencingnya itu sampai
membangunkannya dari tidur sehingga mengganggu tidurnya.
4.
Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal)
Terjadi
karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus
menerus. Tekanan di vesica
menjadi lebih tinggi daripada tekanan di uretra. Akibatnya urin dapat keluar
sendiri tanpa terkontrol. Jadi disini terlihat adanya perbedaan antara overflow
inkontinensia (inkontinesia paradoksal) dengan flow incontinentia. Pada flow
incontinenntia, misalnya akibat paralisis musculus spshincter urtetra, urin
keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada overflow incontinence,
pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh), namun urin keluar tanpa
bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut inkontinensia paradoxal.
5. Dysuria dan hematuria
6. Keadaan umum pasien baik
2.5
Pemeriksaan Diagostik
Pemeriksaan
diagnostik yang dilakukan
1.
Pemeriksaan urodinamika
: terdiri dari sistometri, uroflometri, profil tekanan uretra dan
elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja kandung kemih untuk penyimpanan
urin, pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung
kemih pada saat buang air kecil.
2.
Retrograde
urethroghraphy : mengungkapkan keberadaan striktur dan divertikulum.
3.
Pemeriksaan aliran
urine : berkurangnya atau terganggunya aliran urine. (Saputra, 2012)
Pemeriksaan
lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada kondisi seseorang. Penelitian
yang lebih rinci dari saluran kemih ( misalnya, cystography, cystoscopy, dan
cystometrography) dapat dilakukan untuk memeriksa fungsi kandung kemih atau
untuk membantu menentukan durasi dan penyebab kandung kemih neurogenik.
(Shenot, 2012)
2.6
Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penatalaksanaan serta pengobatan
yang tepat ditentukan oleh gejala, jenis, dan tingkat kerusakan saraf, dan
mendiskusikannya dengan klien dapat membantu mencegah
disfungsi permanen dan kerusakan kandung kemih. Prioritas tata
laksana kandung kemih neurogenik adalah pemeliharaan fungsi ginjal. Tata
laksananya meliputi pengosongan kandung kemih dengan baik, penurunan tekanan
intravesika, pencegahan infeksi saluran kemih, serta penanganan inkontinensia,
yang dilakukan dengan terapi medikamentosa atau tindakan urologik antara lain
clean intermittent catheterization (CIC), sistoplastik, atau pemasangan
sfingter artifisial.
(Febriyanto 2012)
Pada sepertiga anak dengan kelainan
mielomeningokel didapatkan otot detrusor yang arefleksia dan sebagian besar
disertai dis-sinergi kandung kemih dan sfingter. Hal ini menyebabkan anak
tersebut rentan mengalami hidronefrosis sehingga pilihan terapi pada kasus ini
adalah kombinasi antara CIC dan pemberian antikolinergik oral. Pada Gambar,
disajikan jenis kandung kemih neurogenik dan tata laksananya. (Febriyanto 2012)
a.
Clean
intermittent catheterization
Pilihan tata laksana awal
penanganan kandung kemih neurogenik adalah dengan cara clean intermittent
catheterization (CIC). Tindakan tersebut bertujuan untuk mengosongkan kandung
kemih secara adekuat dan aman. Keluarga dan pasien harus memahami bahwa
kelainan terjadi pada kandung kemih dan sfingternya, alasan penggunaan CIC, dan
mereka harus belajar cara melakukan kateterisasi yang benar. Beberapa institusi
menyarankan penggunaan CIC dini pada bayi dengan kandung kemih neurogenik yang
disertai disfungsi sfingter karena untuk memulai pada usia yang lebih dewasa
akan lebih sulit. Tindakan tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan
dan membantu keluarga agar lebih siap dalam membantu anak menghadapi
penyakitnya. (Febriyanto
2012)
Beberapa faktor yang mempengaruhi
frekuensi tindakan CIC perhari, di antaranya asupan cairan perhari, kapasitas
kandung kemih, dan tekanan intra-vesika pada saat pengisian dan pengosongan
kandung kemih. Biasanya, pada bayi CIC dilakukan enam kali sehari sedangkan
pada anak usia sekolah dilakukan sebanyak lima kali. Risiko infeksi akibat
tindakan CIC rendah asalkan pengosongan kandung kemih tercapai sempurna.
Pencegahan terjadinya striktur terutama pada anak lelaki dapat dikurangi dengan
penggunaan lubrikan dan meminimalisir manipulasi saat pemasangan kateter.
Konstipasi merupakan penyulit proses pengisian dan pengosongan kandung kemih
sehingga perlu diatasi untuk menunjang keberhasilan terapi. Tindakan CIC juga
mengurangi angka dilakukannya augmentasi pada leher kandung kemih (level of
evidence: 2, rekomendasi derajat B). (Febriyanto 2012)
b.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang sering
digunakan adalah oksibutinin, tolterodin, trospium, dan propiverin. Sebagian
besar studi yang dilakukan terhadap oksibutinin menunjukkan hasil memuaskan,
meskipun validitasnya masih rendah karena tidak terdapat kelompok kontrol
(level of evidence: 3, Grade B recommendation). Oksibutinin lebih banyak
diberikan secara intra vesika dibandingkan per oral karena lebih dapat
ditolerir. Dosisnya antara 0,3 – 0,6 mg/kgbb perhari terbagi dalam 2 – 3 dosis,
yang dapat ditingkatkan hingga 0,9 mg/kgbb perhari. Terapi medikamentosa
lainnya adalah obat penghambat reseptor alfa-adrenergik yang juga memberikan
respons yang baik, namun penelitian mengenai penggunaan obat itu belum
menggunakan kelompok kontrol dan belum ada laporan pemantauan jangka panjang
(level of evidence: 4, grade C recommendation). Angka keberhasilan pengobatan
kombinasi oksibutinin dan CIC cukup tinggi yakni sebesar 90%.(Febriyanto 2012)
Antidepresan seperti amitryptiline
(Elavil) juga membantu mengurangi kontraksi dengan relaksasi otot polos kandung
kemih. Estrogen (Premarin) dapat digunakan oleh wanita pasca-menopause untuk
mengobati ringan sampai sedang inkontinensia stres. Alpha- adrenergic blocker:
terazosin (hytrin), doksazosin (cardura). Antikolinergic : memperbaiki fungsi
penampungan air kemih olehkandung kemih. Misal, darifenasin (enablex),
hiosiamin (levbid).
(Febriyanto 2012)
Pada kandung kemih neurogenik yang
refrakter terhadap antikolinergik, ada pengobatan alternatif yaitu injeksi
toksin Botulinum. Pada pasien dewasa terapi ini memberikan hasil yang
menjanjikan namun pada anak masih jarang dilakukan. Sejauh ini penelitian yang ada
bersifat terbuka (open trials) dan kurang menggunakan kelompok kontrol. Toksin
Botulinum disuntikkan langsung pada otot detrusor dan hasilnya aman serta
efektif pada kelompok dewasa. Pada orang dewasa toksin Botulinum dapat
diberikan berulangkali namun pada anak belum ada penelitian mengenai frekuensi
pemberian yang aman dan efektif (level of evidence: 3) (Febriyanto 2012)
c.
Operasi
Aksesoris buatan seperti sfingter
buatan terdiri dari manset yang sesuai di sekitar leher kandung kemih, balon
tekanan yang mengatur, dan pompa yang mengembang manset. Balon ditempatkan di
bawah otot perut. Pompa ini ditempatkan di labia pada wanita dan dalam skrotum
untuk pria. Mengaktifkan pompa mengirimkan cairan dari manset untuk balon, yang
memungkinkan otot sphincter untuk bersantai dan urin untuk lulus. Manset
otomatis mengembang kembali dalam tiga sampai lima menit. Stent uretra, yang
mirip dengan kateter internal dapat dimasukkan melalui otot sfingter untuk
memperluas dan memungkinkan urin untuk dikeringkan. (Febriyanto 2012)
Kegagalan terapi medikamentosa
dalam mengembalikan fungsi kandung kemih merupakan indikasi tindakan bedah. Ada
beberapa teknik pembedahan yang bergantung pada permasalahan yang dihadapi.
Bila masalahnya terletak pada kontraksi otot detrusor lemah dan kapasitas
kandung kemih yang rendah pasca terapi medikamentosa, maka tindakan pembedahan
yang dilakukan adalah menambah kapasitas kandung kemih dengan sistoplasti.
Tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan usus halus yang kemudian
digabungkan dengan kandung kemih. Syarat dilakukannya tindakan ini adalah
fungsi sfingter harus baik dan uretra yang paten untuk tindakan kateterisasi. (Febriyanto 2012)
Koreksi terhadap jalur keluar
kandung kemih dilakukan jika detrusor dan sfingter memiliki aktivitas yang
lemah. Ada beberapa teknik tindakan untuk meningkatkan tahanan pada sfingter
namun hal ini jarang dikerjakan oleh ahli bedah. Mereka lebih memilih untuk
tetap melakukan tindakan konservatif dan membiarkan leher kandung kemih dan
uretra posterior dalam keadaan intak. Pemasangan stoma menetap dilakukan jika
tindakan bedah pada jalan keluar kandung kemih gagal. Hal ini terutama
dilakukan pada penderita spina bifida yang tergantung dengan kursi roda yang
memiliki kesulitan dalam melakukan kateterisasi dan tergantung dengan orang
lain. (Febriyanto 2012)
d.
Pemantauan
Pasien kandung kemih neurogenik
pada dasarnya membutuhkan pemantauan jangka panjang terutama pemantauan fungsi
ginjal. Pengawasan ditekankan pada gejala kelainan saluran kemih atas, fungsi
ginjal, dan kandung kemih. Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan secara berkala,
tes urodinamik perlu diulang setiap tahun. Pemeriksaan pencitraan dilakukan
untuk mendeteksi hidronefrosis atau refluks vesiko ureter. Pada Tabel 3
ditampilkan pemeriksaan serta waktu untuk melakukan evaluasi terhadap terapi
yang telah diberikan.
(Febriyanto 2012)
e.
Managemen
medis (Saputra,2012)
Terapi manuver valsava pada
pemasangan kateter urin yang intermitten. Seperti manuver crede, produk
inkontinensia, alat oklusi ureter, bladder training (untuk memperbaiki fungsi
kandung kemih)
Terapi fisik-psikologis. Terapi ini
disebut juga dengan berkemih waktunya, menggabungkan kekuatan kemauan dan
latihan. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat catatan jumlah dan
waktu minum cairan, berapa kali buang air kecil setiap hari, dan apakah pernah
bocor urin harus dituliskan. Catatan ini (voiding
diary) dapat membantu menentukan waktu hari Anda harus dekat kamar mandi,
dan saat-saat harus berusaha untuk buang air kecil. Hal ini akan melatih kontrol
buang air kecil.
Terapi listrik-stimulasi.
Penggunaan elektroda dan stimulator kecil ditempatkan di dekat saraf tertentu
selama prosedur bedah minor. Stimulator ditempatkan di bawah kulit dan
memberikan impuls listrik seperti yang disampaikanoleh saraf yang normal.
Perangkat ini telah disetujui oleh US Food and Drug Administration untuk
mengobati inkontinensia dan retensi urin pada klien yang terapi lain gagal.
f.
Monitoring
tanda
vital dan asupan atau keluaran cairan
g.
Diet
menghindari stimulant seperti makanan
yang berbumbu pedas, kuat rempah-rempah (kari, cabai, dan cabai rawit) dan
panas berkontribusi untuk inkontinensia. Buah-buahan yang kaya kalium dapat
memperburuk dorongan inkontinensia seperti anggur dan jeruk. Selain itu coklat
yang mengandung kafein harus dihindari karena memperburuk gejala iritasi
kandung kemih. Kafein adalah diuretik alami, dan memiliki efek rangsang
langsung pada otot polos kandung kemih. Penelitian telah menunjukkan bahwa
minum minuman berkarbonasi, jeruk buah minuman, dan jus asam dapat memperburuk
berkemih iritasi atau mendesak gejala. Konsumsi pemanis buatan juga telah
berteori untuk berkontribusi inkontinensia . Begitu pula asupan cairan harus
yang terkendali sesuai kebutuhan setiap tubuh manusia.
2.7
Patofisiologis dan WOC
Neurogenic Bladder dapat terjadi
akibat dari kerusakan saraf yang terjadi pada sistem persarafan manusia. Sistem
saraf pada pada manusia terdapat sistem saraf pusat dan tepi. Sistem saraf
pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang (saraf parasimpatis dan
simpatis) sedangkan sistem saraf perifer terdiri atas sistem saraf somatik dan
otonom.
Proses berkemih membutuhkan sistem
persarafan yang cukup komplek, pada sistem saraf pusat terdapat Pusat miksi
Pons yang mengatur miksi melalui refleks pengaturan pengisian atau pengosongan
kandung kemih dan daerah kortikal serta daerah subkortikal di lobus frontal
otak yang memberikan rangsang yang akan berpengaruh pada sfingter eksternal
uretra. Sedangkan pada sistem persarafan perifer terdapat persarafan otonom
yang akan mengatur refleks berkemih secara volunter.
Lebih spesifik lagi, sistem saraf
pusat yang mengatur reflek berkemih terdapat pada saraf parasimpatik dan saraf
simpatik. Pada saraf parasimpatik terdapat pada kolumna medula spinalis antara
S2 dan S4, terdapat 2 bentuk persarafan yaitu serabut saraf sensorik dan
serabut saraf motorik, pada serabut sensorik akan mendeteksi peregangan kandung
kemih sehingga akan memicu refleks pengosongan kandung kemih, sedangkan pada
serabut motorik akan memicu kontraksi
otot detrusor pada kandung kemih. Pada saraf simpatik terletak pada L2 medula
spinalis, serabut saraf simpatis ini merangsang pembuluh darah dan memberi
sedikit efek terhadap kontraksi kandung kemih.
Sehingga apabila terjadi cidera
atau lesi pada lobus frontal otak, pons, medula spinalis dan saraf perifer maka
akan mengakibatkan gangguang persarafan pada proses miksi sehingga menimbulkan
gangguan perkemihan yang kita sebut Neurogenic Bladder. Sebuah kondisis
disfungsi menghasilkan gejala yang berbeda, berkisar antara retensi urin akut
hingga overaktivitas kandung kemih atau kombinasi keduanya.
Karena terdapat beberpa daerah atau
organ yang terlibat dalam persarafan proses bermiksi maka ditentukan
klasifikasi yang berdasarkan pada letak cidera atau lesi yang akan membantu menuntun terapis untuk
memberikan penatalaksanan, klasifikasinya dan patofisiologinya adalah sebagai
berikut:
1.
Lesi di otak
Contoh penyebab lesi otak adalah,
stroke, tumor otak, parkinson, hidrosepahlus, cerebal palsy, dan Shy-Drager
syndrome (progressive dan degeneratif system). Lesi otak diatas pons merusak
pusat kontrol dan menyebabkan hilangnya kontrol ekskresi secara keseluruhan
akan tetapi refleks ekskresi masih tetap utuh atau ada. Klien memiliki sensasi
terbatas terhadap distensi kandung kemih, tetapi tidakmemiliki kemampuan untuk
menghambat buang air kecil. Individu hanya mengeluhkan ketidakmampuan
mengendalikan ekskresi yang parah karena pengosongan kandung kemih yang terlalu
cepat dengan jumlah urin yang sedikit.
Biasanya, orang dengan masalah lesi otak akan berlari cepat ke kamar mandi akan
tetapi urin keluar sebelum mereka mencapai kamar mandi.
2.
Lesi di antara pons hingga sakral medula spinalis (Upper Motor Neuron)
Contoh penyebab lesi diantara pons
hingga sakral (di atas T12 – L1) ini adalah spinal
cord injury, multiple sclerosis,
myelomeningocele / spina bifida.
Lesi di Upper Motor Neuron ini
memiliki karakteristik Disinergia Detrussor – Spingter (DDS), pada keadaan
fisiologis miksi, sfingter eksterna akan berelaksasi mendahului kontraksi
destrusor, akan tetapi pada DDS ini terjadi kontraksi bersamaan antara sfingter
eksterna dan otot detrusor, hail ini mengakibatkan miksi terhambat sehingga
meningkatkan tekanan intravesikal dan dapat mengakibatkan vesikoureteral reflux
yang dapat mengakibatkan kerusakan
ginjal.
Pengosongan kandung kemih sangat
cepat dan sering begitu juga kontraksi sfingter eksterna yang bersamaan dengan
kontraksi otot detrussor mengakibatkan klien merakan ingin berkemih akan tetapi
urin yang dikeluarkan sangat sedikit, karena kandung kemih ingin mengeluarkan
urinnya akan tetapi kontraksinya sfingter eksterna membuat terhalangnya urin
keluar sehingga pengosongan kandung kemih tidak efisien dan tidak menimbulkan
kepuasaan karena terdapat sisa urin yang tinggi pada kandung kemih.
3.
Lesi di akar ventral di S2 – S4 (the
Mixed Type A Bladder)
Lesi di tempat ini mengakibatkan
kelumpuhan motorik, klien memiliki sensasi utuh untuk berkemih akan tetapi
mengalami hilangnya sebagian atau seluruhnya fungsi motorik yaitu klien tidak
bisa mengeluarkan urinnya sehingga meninmbulkan retensi urin. Adanya retensi
urin ini akan mengakibatkan volume urin residual meingkat pada kandung
kemih sehingga memungkinkan terjadinya
inkontinensia overflow
4.
Lesi di akar dorsal di S2 – S4 (the Mixed
Type B Bladder)
Lesi ditempat ini mengakibatkan
kelumpuhan sensorik, klien tidak memiliki sensasi untuk berkemih akan tetapi
fungsi motoriknya masih bagus sehingga klien mengeluarkan urin tanpa didahului
rasa ingin berkemih.. hal ini akan menimbulkan inkontinensia urin pada umumnya.
5.
Lesi di Lower Motor Neuron (dibawah T12 – L1) dan saraf perifer
Lesi di Lower Motor Neuron mengakibatkan klien merasa ada sensasi sadar
untuk membatalkan akan tetapi tidak memiliki refleks untuk berkemih karena
hilangnya sensibilitas kandung kemih. Proses miksi secara volunter juga
menghilang dan mekanisme untuk kontraksi detrusor hilang dan hal ini
mengakibatkan hipokontraktil pada kandung kemih. Compliance kandung kemih juga
hilang.
Pada saraf perifer, Diabetes
melitus dan AIDS adalah 2 kondisi yang mengakibatkan periferal neuropathy yang
menyebabkan retensi urin. Penyakit ini merusak saraf kandung kemih, distensi
kandung kemih akan tetapi terasa tidak nyeri. Pada pasien diabetes kronis akan
kehilangan sensasi dari kandung kemih
2.8
Komplikasi
Komplikasi utama kandung kemih
neurogenik adalah infeksi yang terjadi akibat stasis urin dan kateterisasi yang
dilakukan kemudian. Hipertrofi dinding kandung kemih juga terjadi dan akhirnya
menimbulkan refluks vesikouretral (kembalinya urin dari kandung kemih ke dalam
ureter) dan hidronefrosis (dilatasi struktur internal ginjal dengan
meningkatnya tekanan dari urin yang mengalir balik). Pada klien dengan
neurogenic bladder juga memungkinkan untuk meningkatkan resiko gangguan
saluran keluar kandung kemih (bladder
outlet obstruction). (Ginsberg
2013).
Urolitiasis (batu dalam saluran
kemih) dapat terjadi akibat stasis serta infeksi kemih dan demineralisasi
tulang karena tirah baring yang lama. Pada klien dengan neurogenic bladder , jika mereka tidak diobati secara optimal
maka juga bisa menyebabkan batu buli, sepsis dan gagal ginjal Gagal
ginjal merupakan penyebab utama kematian pada pasien gangguan neurologik vesika
urinaria (Smeltzer & Bare, 2010).
2.9 Prognosis
Prognosis baik jika segera
ditangani dan tidak sampai terjadi gagal ginjal. Pengobatan yang tepat dapat
membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. (Patrick J. Shenot,
MD,2012)
BAB 3
Asuhan Keperawatan Kasus
STUDI KASUS
Pada tanggal 10 Maret 2016 Tn. N berusia 62 tahun
datang ke RS Haji dengan keluhan kencing terus-menerus namun keluarnya
sedikit-sedikit. Klien bercerita bahwa seminggu yang lalu klien terpeleset saat
di kamar mandi dan jatuh terduduk. Keluarga
klien mengatakan bahwa Tn. N memiliki riwayat penyakit stroke. Pemeriksaan
TTV pasien menunjukkan suhu 39°C,
nadi 90x/menit, tekanan darah
120/80 mmHg, RR 20x/menit. Dari hasil
laboraturium urin belum menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi, Ph urin 6; RBCs
(Red Blood Cells) 3 juta sel/mm3;
WBCs (White Blood Cells) 10.500 sel/mm3.
A.
Pengkajian
1)
Identitas
a)
Nama : Tn N
b)
Jenis kelamin : laki-laki
c)
Umur : 62 tahun
d)
Agama : islam
e)
Pendidikan : SD
f)
Pekerjaan : petani
g)
Alamat : Jl. Melati no. 13 Surabaya
h)
Tanggal masuk : 10
Maret 2016 jam 10.00 WIB
2)
Riwayat Kesehatan
a)
Alasan masuk rumah
sakit
Sejak
terpeleset di kamar mandi, Tn N mengeluh sering kencing namun keluarnya
sedikit-sedikit.
b)
Keluhan Utama
Merasa sakit di perut
bagian bawah ketika kencing dan ketika ditekan.
c)
Riwayat penyakit
sekarang
Seminggu sebelum
MRS, klien jatuh terpeleset di kamar mandi. Klien duduk terjatuh. Beberapa hari
setelahnya klien kencing terus-menerus namun keluar sedikit-sedikit disertai
rasa sakit di perut bawah.
d)
Riwayat penyakit dahulu
Stroke
e)
Riwayat penyakit
keluarga
Tidak ada anggota
keluarga yang mengalami hal seperti klien.
3)
Pemeriksaan Fisik
a)
Status kesehatan umum
Kesadaran : compos mentis
Suhu : 39°C
Nadi : 90/menit
Tekanan Darah : 120/80 mm/Hg
RR : 20x/menit
b)
Review of System
-
B1 (Breathing)
Respirasi
rate klien 20x/menit
-
B2 (Blood)
Tekanan
darah klien 120/80 mmHg
-
B3 (Brain)
GCS
= 456
-
B4 (Bladder)
Kandung
kemih penuh, sering berkemih tapi sedikit, distensi bladder. Jumlah urin 500
ml/hari.
-
B5 (Bowel)
Tidak
ditemukan masalah.
-
B6 (Bone)
Tidak
ditemukan masalah.
4)
Pemeriksaan Penunjang
Belum
dilakukan
5)
Pemeriksaan
Laboraturium
pH urin 6 (normal: 4,5-7,5)
RBCs 3juta sel/mm3(normal: 3,2-5,2 juta sel/mm3)
WBCs 10.500sel/mm3(normal:
3.500-10.000sel/mm3)
No.
|
Data
|
Etiologi
|
Masalah keperawatan
|
1.
|
DS: klien mengaku sering kencing, namun hanya
sedikit
DO: pada pemeriksaan fisik, di temukan adanya
distensi kandung kemih dan suara dullness ketika dilakukan perkusi
|
Cedera medulla spinalis (persarafan parasimpatis)
Sering kencing namun hanya sedikit
|
Inkontinensia urine overflow
|
2.
|
DS: klien mengeluh nyeri perut
bagian bawah ketika kencing
DO:
P: nyeri kandung kemih
Q: nyeri seperti tertusuk jarum
R: perut bagian bawah (kandung kemih)
S: 7
T: ketika ditekan
|
Aktivasi reseptor inflamasi (bradikinin,
prostaglandin, dll)
|
Nyeri akut
|
3.
|
DS: klien mengaku kencingnya hanya sedikit
DO: pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya
distensi kandung kemih
Perkusi kandung kemih ditemukan suara dullnes
|
Trauma medulla spinalis
Cedera pada persarafan parasimpatis
Melemahnya kontraksi otot detrusor kandung kemih
Menurunnya kemampuan berkemih
Urin terkumpul di kandung kemih
|
Retensi urine
|
|
DS: klien mengeluh badannya lemas, dan panas
DO: Pemeriksaan TTV pasien menunjukkan suhu 39°C
|
Respon inflamasi
|
hipertermi
|
No.
|
Diagnose keperawatan
|
Domain
|
Class
|
Code
|
1.
|
Nyeri akut berhubungan dengan luka fisik
|
12 (comfort)
|
1 (physical comfort)
|
00132
|
2.
|
Inkontinensia urine overflow berhubungan dengan status neurologi:
fungsi motorik
|
3 (elimination and exercise)
|
1 (urinary function)
|
00176
|
3.
|
Retensi urine berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik
|
3 (elimination and exercise)
|
1 (urinary function)
|
00023
|
4.
|
Hipertermi berhubungan dengan infeksi
|
11 (safety/ protection)
|
6 (thermoregulation)
|
00006
|
Diagnose: Nyeri akut
berhubungan dengan luka fisik
Tujuan: klien tidak merasa
nyeri
Kriteria hasil: a. klien
dapat mengungkapakn faktor penyebab nyeri (160501)
b. klien mau menggunakan non analgesic untuk mengurangi nyeri (160504)
c. klien menggunakan analgesic apabila direkomendasikan (160505)
d. melaporkan apabila nyeri mulai terkontrol (160511)
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Managemen nyeri (1400)
a.
Kaji tingkat nyeri
b.
Gunakan
komunikasi terapeutik selama perawatan
c.
Pertahankan tirah
baring
d.
Berikan
teknik non analgesic (distraksi, napas dalam, relaksasi)
e.
Berikan analgesic
sesuai dengan program terapi
|
a. Memberikan
informasi tentang efektivitas intervensi
b. Untuk memberikan rasa aman dan nyaman serta
mengurangi rasa nyeri pada klien
c. Meningkatkan
pola berkemih normal
d. Teknik non analgesic diberikan untuk mengurangi
komplikasi serta untuk menurunkan rasa nyeri
e.
Analgesic memblokir
jalan nyeri
|
Diagnose: Inkontinensia
urine overflow berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik
Tujuan: hilangnya distensi
kandung kemih, dan dapat berkemih secara normal dengan aliran yang lancar
Kriteria hasil: a. klien
dapat berkemih dengan puas (050209)
b. masukan cairan secara adekuat (050215)
c. klien dapat berkemih di toilet secara mandiri (050217)
d. klien dapat berkemih >100-200 ml (050210)
|
|
Intervensi
perawatan inkontinensia urine (0610)
1.
Berkonsultasi dengan
physican untuk obat-obatan untuk meringankan detrusor sfingter (DSD)
2.
Mengelola vitamin c
dan cranberry tablet, seperti yang diperintahkan
3.
Memonitor residual
urine (sebaiknya tidak lebih dari 50 ml)
4.
Menguji sampel urine
terkontaminasi bakteri
5.
Mempertahankan teknik
steril untuk kateterisasi intermittent sementara klien hospitalized (lenke et
al, 2005) teknik bersih digunakan di rumah
6.
Menghindari
menggunakan kateter berdimnya kecuali diindikasikan oleh situasi individu
klien (misalnya inability untuk melakukan CISC karena imobilisasi)
|
Rasional
a. DSD
adalah associated dengan jumlah besar sisa urine.
b. Urine
asam menghalangi pertumbuhan bakteri yang paling terlibat dalam cystis.
c. Monitor mendeteksi
masalah awal, yang memungkinkan intervensi yang cepat untuk mencegah statis
urine.
d. Bakteri
menghitung lebih dari 10 urine menunjukkan infeksi, ketika piuria hadir.
Beberapa dokter mungkin tidak ingin memperlakukan sampai klien memiliki
gejala. Penyebab
paling umum dari infeksi bakteri diperkenalkan oleh cargiver yang tidak
mencuci tangan secara memadai antara klien
e.
Kateter yang
behubungan dengan infeksi saluran kemih berhubungan dengan kateter meluncur
masuk dan keluar dari uretra, yang memperkenalkan pathogen.
|
Diagnose: retensi urine
berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik
Tujuan: tidak ada distensi
kandung kemih
Kriteria hasil: a. klien
dapat berkemih >100-200 ml (050210)
b. klien tidak mengalami infeksi kandung kemih (050214)
c. klien dapat berkemih secara adekuat (050216)
d. klien berkemih >150 ml setiap waktu (050206)
|
|
intervensi
perawatan retensi urine (0620)
1.
Dorong pasien utnuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
2. Tanyakan
pasien tentang inkontinensia stres.
3. Observasi
aliran urin, perhatikan ukuran dan ketakutan.
4. Awasi dan
catat waktu dan jumlah tiap berkemih..
5. Perkusi/palpasi
area suprapubik
|
Rasional
a.
Meminimalkan retensi
urin distensi berlebihan pada kandung kemih.
b.
Tekanan ureteral
tinggi menghambat pengosongan kandung kemih.
c.
Berguna untuk
mengevaluasi obsrtuksi dan pilihan intervensi.
d.
Retensi urin
meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas.
e.
Distensi kandung
kemih dapat dirasakan diarea suprapubik.
|
BAB 4
Penutup
4.1 Kesimpulan
Gejala
neurogenik bladder berkisar antara kurang berfungsi hingga overaktifitas,
tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan
spincter menjadi kurang berfungsi atau overaktifitas dan kehilangan koordinasi
dengan fungsi kandung kemih (A.J. Wein, 2007). Banyak penyebab dapat mendasari
timbulnya Neurogenic Blader sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti
sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla
spinalis, selain itu kondisi lain yang dapat menyebabkan neurogenic bladder
adalah penyakit degeneratif neurologis (multiple sklerosis dan sklerosis
lateral amiotropik), kelainan bawaan tulang belakang (spina bifida).Disfungsi
kandung kemih juga umum terdapat di kasus spina bifida, 40% dari anak dengan
spina bifida berumur 5 tahun dan 61% dari kasus spina bifida yang sudah dewasa
memiliki pengalaman inkontinensia urin (Verhoev, 2005).
David
Ginsberg dalam jurnalnya yang berjudul “The Epidemiology and Pathophysiology
of Neurogenic Bladder” (2013) mengatakan bahwa neurogenic bladder atau
kandung kemih neurogenik merupakan penyakit yang menyerang kandung kemih yang
disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem saraf pusat atau pada
sistem saraf perifer dan otonom. Menurut Peter (2012) terdapat
klasifikasi dari neurogenic bladder yang popular dan berdasarkan lokasi lesi neurologis. Sistem ini
dijadikan panduan untuk terapi farmakologi dan intervensi lain.
Daftar Pustaka
A.
J. Wein, (2007)“Lower urinary tract dysfunction in neurologic injury and
disease,” in Campbell-Walsh Urology, A. J. Wein, L. R. Kavoussi, A. C.
Novick, A.W. Partin, and C. A. Peters, Eds., pp. 2011–2045, Saunders, New York,
NY, USA, 9th edition,
A.
Manack, S. P. Motsko, C. Haag-Molkenteller et al., (2011) .“Epidemiology and
healthcare utilization of neurogenic bladder patients in a US claims database,”
Neurourology and Urodynamics, vol. 30, no. 3, pp. 395–401,.
Benevento
B.T. and Marca L. Sipski. 2002.Neurogenic Bladder, Nuerogenic Bowel, and Sexual
Black, J. M. Medical-Surgical
Nursing Ed.8th. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2009
Carpenito, Lynda Juall.
(2009). Nursing Care Plan & Documentation edisi 5. China: Library of
Catloging
Charlene J. reeves at all.
Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica, 2001.
Dorsher, Peter T.;
McIntosh, Peter M., (2011). ‘Neurogenic Bladder’. Review articer, Advance in
Urology, volume 2012, ID 816274, pg 16. Hindawi Publishing Corporation
Dysfunction
in People With Spinal Cord Injury. Phys Ther. 82 (6): 601-612. Faiz and Moffat.
2004. At a Glance ANATOMI. Jakarta : Erlangga
Elsevier. 2012. Nursing Diagnosis : Urinary Tracty Infection. Saunders : Elsevier
Febriyanto, Rhyno.
Bernadetha Nadeak. etc. (2012). Kandung Kemih Neurogenik
pada Anak:
Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana. Jakarta : Majalah
Kedokteran FK UKI 2012 Vol XXVIII No.
Ginsberg, D. (2013).
The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder. The American
Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194.
Guyton, Arthur C
dan Hall John. 2012. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Japaradi, D. I.
(2002). Manifestasi neurologis gangguan miksi. Medan: USU digital Library ,
4-6.
Lemone, Priscilla,
Burke, Karen, (2008). Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in Client
Care, 4th edition. Pearson Education, Inc.,
M.
Verhoef, M. Lurvink, H. A. Barf et al., (2005) “High prevalence of incontinence
among young adults with spina bifida: description, prediction and problem
perception,” Spinal Cord, vol. 43, no. 6, pp. 331–340,
Morton, Patricia
Gonce, fontaine, Dorrie, C., (2013). Essential of Critical Care Nursing : a
Holistic Approach. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Nursalam. (2008). Proses
dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik . Jakarta: Salemba Medika.
R.
S. Lansang and A. C. Krouskop, (2004). “Bladder management,” in eMedicine,
T. L. Massagli et al., Ed.,
Rackley R.
2009. Neurogenic Bladder.
Medscape reference. In :
http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 3 April 2011
Saputra, Dr. Lyndon.
(2012). Buku Saku Kpererawatan Klien
dengan Gangguan Fungsi Renal dan Urologi Disertai Contoh Kasus Klinik.
Tanggerang: Bina rupa Aksara Publisher.
Shenot,Patrick J.
(2012). Merck Manual Home Health Handbook Neurogenic Bladder. http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders/disorders_of_urination/neurogenic_bladder.html Diakses pada 22 Maret 2016 pukul 9:11 WIB
Sherwood,
Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari
Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C.
& Bare, Brenda G. (2004). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical
Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia : Lippincott Williams
& Wilkins
Smeltzer, Suzanne C. & Bare,
Brenda G. (2010). Brunner
& Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th edition.Philadelphia
: Lippincott Williams & Wilkins
Snell, Richard
S. 2013. Neuroanatomi Kilinik Edisi 6
untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC.
The American Journal of Managed Care,
Volume 19, pp. 191-194 (2013).NeurogenicBladder.
Willacey, Haley (2012) http://patient.info/doctor/neurogenic-bladder.
Diakses pada 13 Maret 2016 pukul 14.32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar