Minggu, 22 Mei 2016

ASKEP Neurogenic bladder


BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Istilah  Neurogenic bladder  tidak mengacu pada  suatu diagnosis spesifik ataupun menunjukkan  etiologinya, melainkan   lebih  menunjukkan  suatu  gangguan  fungsi  urologi akibat   kelainan   neurologis.   Fungsi   kandung   kemih   normal   memerlukan   aktivitas   yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan vesica urinaria dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat. Banyak penyebab yang mendasari timbulnya Neurogenic bladder sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan (Peter,2012).
Prevalensi dan perjalanan penyakit Neurogenik Bladder pada tahun 2004, diperkirakan bahwa 247.000 orang Amerika hidup dengan cedera sumsum tulang belakang. Perkiraan insidence dari cedera tulang belakang bervariasi dari 21,2 per juta penduduk menjadi 60 per juta, sekitar 85% dari cedera ini mempengaruhi segmen tulang belakang terletak di atas vertebra toraks kedua belas dan lesi ini biasanya menghasilkan refleks inkotinensia urin. Reflex inkontinensia urin  juga dapat terjadi antara orang-orang dengan penyakit dengan gangguan intervetebral, stenosis tulang belakang, dan spondylosis serviks. Th eprevalence kondisi ini tidak diketahui, tapi kejadian tahunan intervensi bedah untuk masalah ini telah diperkirakan 52,3 per 100.000 penduduk. (Dorothy,2006)
 Neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi hingga overaktivitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau overaktivitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung kemih. Terapi yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan perawatan medis yang bagus dan perawatan bersama dengan bermacam pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih.
Neurogenik bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%-90% pasien dengan multiple sclerosis, 37%-72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke (Langsang, 2004). Diperkirakan bahwa 70%-84% pasien dengan spinal cord injury paling tidak mempunyai gangguan di kandung kermih (Manack,2011)
Terapi optimal untuk  Neurogenik Bladder  tergantung pada evaluasi menyeluruh, diikuti terapi semua penyebab yang ada  dan faktor yang berperan. Timbulnya gejala  biasanya multifaktor, dan terapi multimodal yang meliputi konservatif dan operatif dapat diberikan. (Dorothy,2006)
Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga keperawatan yang professional dalam memberikan asuhan keperawatan di rumah sakit pada pasien maupun keluarga pasien.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1        TujuanUmum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Perkemihan I diharapkan mahasiswa semester 6 mampu menjelaskan tentang konsep penyakit neurogenic bladder serta pendekatan asuhan keperawatannya.

1.2.2        TujuanKhusus
1.      Mengidentifikasi anatomi fisiologi dari kandung kemih.
2.      Menjelaskan definisi dari Neurogenic Bladder.  
3.      Mengidentifikasi definisi dari neurogenic bladder.
4.      Mengidentifikasi etiologi neurogenic bladder.
5.      Mengidentifikasi manifestasi klinis neurogenic bladder.
6.      Menguraikan patofisiologi neurogenic bladder.
7.      Mengidentifikasi penatalaksaan serta pencegahan pada neurogenic bladder.
8.      Mengidentifikasi komplikasi dari neurogenic bladder.
9.      Mengidentifikasi prognosis dari neurogenic bladder

1.3  Manfaat
Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh pembaca dan penulis untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan, terutama Asuhan Keperawatan pada klien dengan Neurogenic Bladder.
Mahasiswa mengerti tentang neurogenic bladder sehingga dapat menunjang pembelajaran perkuliahan pada mata kuliah Keperawatan Perkemihan. Mahasiswa mengerti tentang proses asuhan keperawatan yang dilakukan pada klien dengan Neurogenic Bladder sehingga dapat menjadi bekal saat melakukan proses asuhan keperawatan selama dirumah sakit.



BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi dan Fisiologis
1. Kandung Kemih (Bladder)
Dasar dari neuroanatomy dan neurofisiologis dari saluran kencing atas dan saluran kencing bawah harus dimengerti sebelum menentukan management kasus kandung kemih. Fungsi normal berkemih pada kantung bladder adalah pengisian bladder, penyimpanan urin, dan pengosongan bladder (A.J. Wein, 2007).
Ginjal menerima setidaknya 25% dari curah jantung, memfilter 180 L darah perharinya dan mengekskresikann urin 1 L perharinya. Filter urin akan melewati ureter dan akan disimpan di dalam kandung empedu. Panjang ureter kurang lebih 25-30 cm. Terdapat uretrovesikular yang merupakan katup untuk mencegah reflux urine dari kandung kemih menuju ke ginjal.
Kandung kemih memiliki kapasitas normal 400-500 cc higga tekanan di dalam bladder 4060 mmHg, secara anatomi kandung empedu terrsusun dari otot destrusor yaitu oto polos. Pada masa kanak-kanak , kandung kemih ditemukan dalam perut. Pada masa remaja dan sampai dewasa ,kandung kemih posisinya dalam panggul sejati (Smeltzer & Bare, 2004).
(Gambar 2. Lokasi Blader pada lelaki)
(Gambar 1. Lokasi Bladder pada wanita)
 










                       

(Gambar 3. Female Bladder)
(Gambar 4. Male Bladder)
 






















2. Struktur otot destrusor dan sfingter
Kandung kemih tersusun atas otot polos dan apabila berkontraksi menyebabkan pengosongan kandung kemih. Kandung kemih memiliki 2 spincter uretra yaitu, spincter internal (otot polos) terdapat pada leher dan bagian atas kandung kemih dan juga spincter external (otot lurik) yang volunter terdapat di membran uretra pada wanita, dan pada lelaki terletak pada distal dari prostat.
Spincter internal mencegah terjadinya ejakulasi retrograde dan spincter external akan berelaksasi pada awal proses miksi dan berada di bawah kendali volunter oleh sistem saraf dan dapat mencegah miksi secara sadar.
(Gambar 4. Struktur Bladder)
 












3. Persyarafan   dari   vesica   urinaria   dan   sfingter   (Faiz  and   Moffat,   2004; Snell, 2006; Waxman, 2010)
a. Persarafan parasimpatis (Nervus Pelvikus)
Pengaturan   fungsi   motorik   dari   otot   detrusor   utama  berasal   dari   serabut preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis di pelvis.
Serabut saraf sensorik akan mendeteksi peregangan dalam kandung kemih, sinyal regangan ini akan berperan utama untuk memicu refleks pengosonga kandung kemih.
Serabut saraf motorik merupakan serabut saraf parasimpatis dan berakhir di sel ganglion yag terletak dikandung kemih kemudian akan mempersarafi otot destrusor untuk pengosongan kandung kemih.
b. Persarafan Simpatis (Nervus Hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Kandung kemih juga mendapatkan persarafan simpatis dari rangakain simpatis nervus hipogastrik, berhungan dengansegmen L2 medula spinalis. Serabut simpatis ini merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap kontraksi kandung kemih. (Guyton, 2012)
Saat ejakulasi pada seorang pria, aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan penutupan dari leher kandung kemih untuk mencegah ejakulasi retrogade atau masuknya cairan seminalis ke vesica urinaria (Japardi, 2002)
c. Persarafan Somatik (Nervus Pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius   yang   mendapat   persarafan   somatik.   Onufrowicz   menggambarkan  suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4.
Serabut motorik skeletal yang dibawa melalui saraf pudendus ke sfingter eksterna kandung kemih. Saraf ini merupakan serabut saraf somatic yang mempersarafi dan mengatur otot lurik volunter pada sfinter tersebut.
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktur urinarius yang mendapat persarafan somatis, tidak hanya menginnervasi sfingter uretra akan tetapi sfingter anal juga terinnervasi oleh saraf ini.

d. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini   mengandung   substansi   P,   ATP   atau   calcitonin  gene-related   peptide   dan pelepasannya   dapat   mengubah   eksitabilitas   otot,  serabut   pleksus   ini   dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang  berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi vesica urinaria tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi vesica urinaria yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A  bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan beberapa sensasi dari distensi vesica urinaria dan nyeri.
 









4. Hubungan dengan susunan saraf pusat (Faiz and Moffat, 2004; Snell,2006)
a. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-bulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons  merupakan  titik  pengaturan (switch  point)  dimana  refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan vesica urinaria. Pusat miksi pons berperan sebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak.
b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus   frontal   dapat   menimbulkan   gangguan   miksi   berupa   urgensi,   inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya vesica urinaria yang hiperrefleksi.

3. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter vesica urinaria (Guyton, 2007; Sherwood, 2001)
a. Pengisian urine
Refleks berkemih terpicu ketika reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang, semakin besar tegangan semakin besar tingkat pengaktifan reseptor. Impuls berjalan ke medula spinalis dan akhirnya merangsang saraf parasimpatis dan menghambat neuron motorik ke sfingter eksternus.
Stimulasi saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan kandung kemih ini berkontraksi. Kontraksinya kandung kemih akan secara mekanis membuka sfingter internus. Secara bersamaan sfingter eksternus berelaksasi (membuka) karena neuron motoriknya dihambat. Kini kedua sfingter terbuka dan urin terdorong melalui uretra oleh gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung kemih.

b. Kontrol Volunter Berkemih
Selain memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih juga menyadarkan yang bersangkutan akan keinginan untuk berkemih. Persepsi penuhnya kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternus relaksasi. Akibatnya kontrol volunter berkemih yang dipelajari selama toilet training pada masa anak-anak dapat mengalahkan refleks berkemih sehingga pengosongan kandung kemih dapat berlangsung sesuai keinginan yang bersangkutan
Jika waktu refleks miksi tersebut dinilai kurang sesuai untuk berkemih, maka yang bersangkutan dapat dengan sengaja mencegah pengosongan kandung kemih dengan mengencangkan sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Impuls eksitaktorik volunter dari korteks serebri mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron motorik yang terlibat sehingga otot sfingter eksternus tetap berkontraksi dan tidak ada urin yang keluar.
 Berkemih tidak dapat ditahan selamanya karena kandung kemih akan terus terisi maka sinyal refleks dari reseptor regang meningkat seiring waktu, akhirnya sinyal inhibitorik refleks ke neuron motorik sfingter eksternus menjadi sedemikian kuat dan tidak dapat diatasi lagi oleh sinyal eksitaktorik volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak terkontrol mengosongkan isinya.

2.2 Definisi dan Klasifikasi
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali (overactive bladder) (Rackley, 2009; Waxman, 2010)
Dengan menggunakan sistem ini maka neurogenic bladder diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Lesi diatas pusat miksi pons, contoh: stroke atau tumor otak
2.      Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis, contoh: trauma medula spinalis, atau multiple sclerosis medula spinalis
3.      Lesi di sacral medula spinalis
4.      Lesi di sacral medula spinalis dan kerusakan nervus pudendus
5.      Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Neurogenic Bladder juga dikelompokkan dalam 3 besar oleh Saputra (2002), yaitu:
1.      Neurogenic Bladder Spastik: lesi diatas pusat miksi di sakral medula spinalis
2.      Neurogenik Bladder Flassid: Lesi dibawah pusat miksi di sakral medula spinalis
3.      Neurogenik Bladder Campuran: Lesi terdapat di atas dan di bawah pusat miksi di sakral medula spinalis
Berikut klasifikasi neurogenic bladder menurut Carpenitto (2009):
a.       Neurogenic Bladder otonom
Merupakan hasil dari kerusakandaripusatkandung kemihdi sumsum tulang belakang sacralpada atau di bawahT12-L1. klien merasa ada sensasi sadar untuk membatalkan dan tidak memiliki refleks berkemih.
b.      Neurogenic Bladder reflex
Kerusakan antara sumsum tulang belakang sakral dan korteks serebral , di atas T12 - L1 . Klien tidak memiliki sensasi untuk membatalkan dan tidak bisa membatalkan atas keinginannya . The constractions detrusor unhibited mungkin buruk dipertahankan dengan pengosongan kandung kemih tidak efisien . Jika refles berkemih busur utuh , refleks berkemih dapat terjadi . Jika ada detrusor - spincter dyssynergy , akan ada peningkatan tekanan kandung kemih dan urine sisa yang tinggi .
c.       Neurogenic Bladder kelumpuhan motorik
Terjadi ketika ada kerusakan pada sel-sel tanduk anterior dari akar ventral S2 - S4 dan kerusakan reflek berkemih . Klien memiliki sensasi utuh , tetapi mengalami hilangnya sebagian atau seluruh fungsi motorik. Kapasitas kandung kemih dapat meningkat dengan urin residual yang besar . kemuungkinan ada inkontinensia overflow.
d.      Neurogenic Bladder kelumpuhansensorik
Terjadi ketika akar dorsal S2-S4 atau jalur sensorik ke korteks serebral mengalami kerusakan. Klien kehilangan sensasi, tetapi dapat mengontrol kapasitas kandung kemih.
e.       Neurogenic Bladder  uninhibitited
hasil dari kerusakan pada kandung kemih pusat di korteks serebral . Klien memiliki sensasi terbatas terhadap distensi kandung kemih , tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menghambat buang air kecil . Urgensi yang merupakan hasil dari waktu yang singkat antara sensasi yang terbatas untuk membatalkan dan kandung kemih berkontraksi tanpa hambatan . Kandung kemih biasanya dalam kondisi kosong sepenuhnya.

2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a. Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat striktur ini adalah    stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain.
b. Struktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen, infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma lebih progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan adanya hematuria gross.
c. Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih lambat daripada striktur traumatik

2.4 Manifestasi Klinis
1.Pancaran air kencing lemah
2. Pancaran air kencing bercabang
Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran urinnya. Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau terjadi penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi turbulen.
3. Frekuensi
Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih dari tujuh kali. Apabila sering krencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan nocturia apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kencingnya itu sampai membangunkannya dari tidur sehingga mengganggu tidurnya.
4. Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal)
Terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan di uretra. Akibatnya urin dapat keluar sendiri tanpa terkontrol. Jadi disini terlihat adanya perbedaan antara overflow inkontinensia (inkontinesia paradoksal) dengan flow incontinentia. Pada flow incontinenntia, misalnya akibat paralisis musculus spshincter urtetra, urin keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada overflow incontinence, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh), namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut inkontinensia paradoxal.
5. Dysuria dan hematuria
6. Keadaan umum pasien baik

2.5 Pemeriksaan Diagostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
1.      Pemeriksaan urodinamika : terdiri dari sistometri, uroflometri, profil tekanan uretra dan elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja kandung kemih untuk penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih pada saat buang air kecil.
2.      Retrograde urethroghraphy : mengungkapkan keberadaan striktur dan divertikulum.
3.      Pemeriksaan aliran urine : berkurangnya atau terganggunya aliran urine. (Saputra, 2012)
Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada kondisi seseorang. Penelitian yang lebih rinci dari saluran kemih ( misalnya, cystography, cystoscopy, dan cystometrography) dapat dilakukan untuk memeriksa fungsi kandung kemih atau untuk membantu menentukan durasi dan penyebab kandung kemih neurogenik. (Shenot, 2012)

2.6 Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penatalaksanaan serta pengobatan yang tepat ditentukan oleh gejala, jenis, dan tingkat kerusakan saraf, dan mendiskusikannya dengan klien dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan kandung kemih. Prioritas tata laksana kandung kemih neurogenik adalah pemeliharaan fungsi ginjal. Tata laksananya meliputi pengosongan kandung kemih dengan baik, penurunan tekanan intravesika, pencegahan infeksi saluran kemih, serta penanganan inkontinensia, yang dilakukan dengan terapi medikamentosa atau tindakan urologik antara lain clean intermittent catheterization (CIC), sistoplastik, atau pemasangan sfingter artifisial. (Febriyanto 2012)
Pada sepertiga anak dengan kelainan mielomeningokel didapatkan otot detrusor yang arefleksia dan sebagian besar disertai dis-sinergi kandung kemih dan sfingter. Hal ini menyebabkan anak tersebut rentan mengalami hidronefrosis sehingga pilihan terapi pada kasus ini adalah kombinasi antara CIC dan pemberian antikolinergik oral. Pada Gambar, disajikan jenis kandung kemih neurogenik dan tata laksananya. (Febriyanto 2012)
a.      Clean intermittent catheterization
Pilihan tata laksana awal penanganan kandung kemih neurogenik adalah dengan cara clean intermittent catheterization (CIC). Tindakan tersebut bertujuan untuk mengosongkan kandung kemih secara adekuat dan aman. Keluarga dan pasien harus memahami bahwa kelainan terjadi pada kandung kemih dan sfingternya, alasan penggunaan CIC, dan mereka harus belajar cara melakukan kateterisasi yang benar. Beberapa institusi menyarankan penggunaan CIC dini pada bayi dengan kandung kemih neurogenik yang disertai disfungsi sfingter karena untuk memulai pada usia yang lebih dewasa akan lebih sulit. Tindakan tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan dan membantu keluarga agar lebih siap dalam membantu anak menghadapi penyakitnya. (Febriyanto 2012)
Beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi tindakan CIC perhari, di antaranya asupan cairan perhari, kapasitas kandung kemih, dan tekanan intra-vesika pada saat pengisian dan pengosongan kandung kemih. Biasanya, pada bayi CIC dilakukan enam kali sehari sedangkan pada anak usia sekolah dilakukan sebanyak lima kali. Risiko infeksi akibat tindakan CIC rendah asalkan pengosongan kandung kemih tercapai sempurna. Pencegahan terjadinya striktur terutama pada anak lelaki dapat dikurangi dengan penggunaan lubrikan dan meminimalisir manipulasi saat pemasangan kateter. Konstipasi merupakan penyulit proses pengisian dan pengosongan kandung kemih sehingga perlu diatasi untuk menunjang keberhasilan terapi. Tindakan CIC juga mengurangi angka dilakukannya augmentasi pada leher kandung kemih (level of evidence: 2, rekomendasi derajat B). (Febriyanto 2012)
b.      Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang sering digunakan adalah oksibutinin, tolterodin, trospium, dan propiverin. Sebagian besar studi yang dilakukan terhadap oksibutinin menunjukkan hasil memuaskan, meskipun validitasnya masih rendah karena tidak terdapat kelompok kontrol (level of evidence: 3, Grade B recommendation). Oksibutinin lebih banyak diberikan secara intra vesika dibandingkan per oral karena lebih dapat ditolerir. Dosisnya antara 0,3 – 0,6 mg/kgbb perhari terbagi dalam 2 – 3 dosis, yang dapat ditingkatkan hingga 0,9 mg/kgbb perhari. Terapi medikamentosa lainnya adalah obat penghambat reseptor alfa-adrenergik yang juga memberikan respons yang baik, namun penelitian mengenai penggunaan obat itu belum menggunakan kelompok kontrol dan belum ada laporan pemantauan jangka panjang (level of evidence: 4, grade C recommendation). Angka keberhasilan pengobatan kombinasi oksibutinin dan CIC cukup tinggi yakni sebesar 90%.(Febriyanto 2012)
Antidepresan seperti amitryptiline (Elavil) juga membantu mengurangi kontraksi dengan relaksasi otot polos kandung kemih. Estrogen (Premarin) dapat digunakan oleh wanita pasca-menopause untuk mengobati ringan sampai sedang inkontinensia stres. Alpha- adrenergic blocker: terazosin (hytrin), doksazosin (cardura). Antikolinergic : memperbaiki fungsi penampungan air kemih olehkandung kemih. Misal, darifenasin (enablex), hiosiamin (levbid). (Febriyanto 2012)
Pada kandung kemih neurogenik yang refrakter terhadap antikolinergik, ada pengobatan alternatif yaitu injeksi toksin Botulinum. Pada pasien dewasa terapi ini memberikan hasil yang menjanjikan namun pada anak masih jarang dilakukan. Sejauh ini penelitian yang ada bersifat terbuka (open trials) dan kurang menggunakan kelompok kontrol. Toksin Botulinum disuntikkan langsung pada otot detrusor dan hasilnya aman serta efektif pada kelompok dewasa. Pada orang dewasa toksin Botulinum dapat diberikan berulangkali namun pada anak belum ada penelitian mengenai frekuensi pemberian yang aman dan efektif (level of evidence: 3) (Febriyanto 2012)
c.       Operasi
Aksesoris buatan seperti sfingter buatan terdiri dari manset yang sesuai di sekitar leher kandung kemih, balon tekanan yang mengatur, dan pompa yang mengembang manset. Balon ditempatkan di bawah otot perut. Pompa ini ditempatkan di labia pada wanita dan dalam skrotum untuk pria. Mengaktifkan pompa mengirimkan cairan dari manset untuk balon, yang memungkinkan otot sphincter untuk bersantai dan urin untuk lulus. Manset otomatis mengembang kembali dalam tiga sampai lima menit. Stent uretra, yang mirip dengan kateter internal dapat dimasukkan melalui otot sfingter untuk memperluas dan memungkinkan urin untuk dikeringkan. (Febriyanto 2012)
Kegagalan terapi medikamentosa dalam mengembalikan fungsi kandung kemih merupakan indikasi tindakan bedah. Ada beberapa teknik pembedahan yang bergantung pada permasalahan yang dihadapi. Bila masalahnya terletak pada kontraksi otot detrusor lemah dan kapasitas kandung kemih yang rendah pasca terapi medikamentosa, maka tindakan pembedahan yang dilakukan adalah menambah kapasitas kandung kemih dengan sistoplasti. Tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan usus halus yang kemudian digabungkan dengan kandung kemih. Syarat dilakukannya tindakan ini adalah fungsi sfingter harus baik dan uretra yang paten untuk tindakan kateterisasi. (Febriyanto 2012)
Koreksi terhadap jalur keluar kandung kemih dilakukan jika detrusor dan sfingter memiliki aktivitas yang lemah. Ada beberapa teknik tindakan untuk meningkatkan tahanan pada sfingter namun hal ini jarang dikerjakan oleh ahli bedah. Mereka lebih memilih untuk tetap melakukan tindakan konservatif dan membiarkan leher kandung kemih dan uretra posterior dalam keadaan intak. Pemasangan stoma menetap dilakukan jika tindakan bedah pada jalan keluar kandung kemih gagal. Hal ini terutama dilakukan pada penderita spina bifida yang tergantung dengan kursi roda yang memiliki kesulitan dalam melakukan kateterisasi dan tergantung dengan orang lain. (Febriyanto 2012)
d.      Pemantauan
Pasien kandung kemih neurogenik pada dasarnya membutuhkan pemantauan jangka panjang terutama pemantauan fungsi ginjal. Pengawasan ditekankan pada gejala kelainan saluran kemih atas, fungsi ginjal, dan kandung kemih. Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan secara berkala, tes urodinamik perlu diulang setiap tahun. Pemeriksaan pencitraan dilakukan untuk mendeteksi hidronefrosis atau refluks vesiko ureter. Pada Tabel 3 ditampilkan pemeriksaan serta waktu untuk melakukan evaluasi terhadap terapi yang telah diberikan. (Febriyanto 2012)
e.       Managemen medis (Saputra,2012)
Terapi manuver valsava pada pemasangan kateter urin yang intermitten. Seperti manuver crede, produk inkontinensia, alat oklusi ureter, bladder training (untuk memperbaiki fungsi kandung kemih)
Terapi fisik-psikologis. Terapi ini disebut juga dengan berkemih waktunya, menggabungkan kekuatan kemauan dan latihan. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat catatan jumlah dan waktu minum cairan, berapa kali buang air kecil setiap hari, dan apakah pernah bocor urin harus dituliskan. Catatan ini (voiding diary) dapat membantu menentukan waktu hari Anda harus dekat kamar mandi, dan saat-saat harus berusaha untuk buang air kecil. Hal ini akan melatih kontrol buang air kecil.
Terapi listrik-stimulasi. Penggunaan elektroda dan stimulator kecil ditempatkan di dekat saraf tertentu selama prosedur bedah minor. Stimulator ditempatkan di bawah kulit dan memberikan impuls listrik seperti yang disampaikanoleh saraf yang normal. Perangkat ini telah disetujui oleh US Food and Drug Administration untuk mengobati inkontinensia dan retensi urin pada klien yang terapi lain gagal.
f.        Monitoring
tanda vital dan asupan atau keluaran cairan
g.      Diet
menghindari stimulant seperti makanan yang berbumbu pedas, kuat rempah-rempah (kari, cabai, dan cabai rawit) dan panas berkontribusi untuk inkontinensia. Buah-buahan yang kaya kalium dapat memperburuk dorongan inkontinensia seperti anggur dan jeruk. Selain itu coklat yang mengandung kafein harus dihindari karena memperburuk gejala iritasi kandung kemih. Kafein adalah diuretik alami, dan memiliki efek rangsang langsung pada otot polos kandung kemih. Penelitian telah menunjukkan bahwa minum minuman berkarbonasi, jeruk buah minuman, dan jus asam dapat memperburuk berkemih iritasi atau mendesak gejala. Konsumsi pemanis buatan juga telah berteori untuk berkontribusi inkontinensia . Begitu pula asupan cairan harus yang terkendali sesuai kebutuhan setiap tubuh manusia.

2.7 Patofisiologis dan WOC
Neurogenic Bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf yang terjadi pada sistem persarafan manusia. Sistem saraf pada pada manusia terdapat sistem saraf pusat dan tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang (saraf parasimpatis dan simpatis) sedangkan sistem saraf perifer terdiri atas sistem saraf somatik dan otonom.
Proses berkemih membutuhkan sistem persarafan yang cukup komplek, pada sistem saraf pusat terdapat Pusat miksi Pons yang mengatur miksi melalui refleks pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kemih dan daerah kortikal serta daerah subkortikal di lobus frontal otak yang memberikan rangsang yang akan berpengaruh pada sfingter eksternal uretra. Sedangkan pada sistem persarafan perifer terdapat persarafan otonom yang akan mengatur refleks berkemih secara volunter.
Lebih spesifik lagi, sistem saraf pusat yang mengatur reflek berkemih terdapat pada saraf parasimpatik dan saraf simpatik. Pada saraf parasimpatik terdapat pada kolumna medula spinalis antara S2 dan S4, terdapat 2 bentuk persarafan yaitu serabut saraf sensorik dan serabut saraf motorik, pada serabut sensorik akan mendeteksi peregangan kandung kemih sehingga akan memicu refleks pengosongan kandung kemih, sedangkan pada serabut motorik  akan memicu kontraksi otot detrusor pada kandung kemih. Pada saraf simpatik terletak pada L2 medula spinalis, serabut saraf simpatis ini merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap kontraksi kandung kemih.
Sehingga apabila terjadi cidera atau lesi pada lobus frontal otak, pons, medula spinalis dan saraf perifer maka akan mengakibatkan gangguang persarafan pada proses miksi sehingga menimbulkan gangguan perkemihan yang kita sebut Neurogenic Bladder. Sebuah kondisis disfungsi menghasilkan gejala yang berbeda, berkisar antara retensi urin akut hingga overaktivitas kandung kemih atau kombinasi keduanya.
Karena terdapat beberpa daerah atau organ yang terlibat dalam persarafan proses bermiksi maka ditentukan klasifikasi yang berdasarkan pada letak cidera atau lesi  yang akan membantu menuntun terapis untuk memberikan penatalaksanan, klasifikasinya dan patofisiologinya adalah sebagai berikut:
1. Lesi di otak
Contoh penyebab lesi otak adalah, stroke, tumor otak, parkinson, hidrosepahlus, cerebal palsy, dan Shy-Drager syndrome (progressive dan degeneratif system). Lesi otak diatas pons merusak pusat kontrol dan menyebabkan hilangnya kontrol ekskresi secara keseluruhan akan tetapi refleks ekskresi masih tetap utuh atau ada. Klien memiliki sensasi terbatas terhadap distensi kandung kemih, tetapi tidakmemiliki kemampuan untuk menghambat buang air kecil. Individu hanya mengeluhkan ketidakmampuan mengendalikan ekskresi yang parah karena pengosongan kandung kemih yang terlalu cepat  dengan jumlah urin yang sedikit. Biasanya, orang dengan masalah lesi otak akan berlari cepat ke kamar mandi akan tetapi urin keluar sebelum mereka mencapai kamar mandi.
2. Lesi di antara pons hingga sakral medula spinalis (Upper Motor Neuron)
Contoh penyebab lesi diantara pons hingga sakral (di atas T12 – L1) ini adalah spinal cord injury, multiple sclerosis, myelomeningocele / spina bifida.  Lesi di Upper Motor Neuron ini memiliki karakteristik Disinergia Detrussor – Spingter (DDS), pada keadaan fisiologis miksi, sfingter eksterna akan berelaksasi mendahului kontraksi destrusor, akan tetapi pada DDS ini terjadi kontraksi bersamaan antara sfingter eksterna dan otot detrusor, hail ini mengakibatkan miksi terhambat sehingga meningkatkan tekanan intravesikal dan dapat mengakibatkan vesikoureteral reflux yang dapat mengakibatkan  kerusakan ginjal.
Pengosongan kandung kemih sangat cepat dan sering begitu juga kontraksi sfingter eksterna yang bersamaan dengan kontraksi otot detrussor mengakibatkan klien merakan ingin berkemih akan tetapi urin yang dikeluarkan sangat sedikit, karena kandung kemih ingin mengeluarkan urinnya akan tetapi kontraksinya sfingter eksterna membuat terhalangnya urin keluar sehingga pengosongan kandung kemih tidak efisien dan tidak menimbulkan kepuasaan karena terdapat sisa urin yang tinggi pada kandung kemih.
3. Lesi di akar ventral di S2 – S4 (the Mixed Type A Bladder)
Lesi di tempat ini mengakibatkan kelumpuhan motorik, klien memiliki sensasi utuh untuk berkemih akan tetapi mengalami hilangnya sebagian atau seluruhnya fungsi motorik yaitu klien tidak bisa mengeluarkan urinnya sehingga meninmbulkan retensi urin. Adanya retensi urin ini akan mengakibatkan volume urin residual meingkat pada kandung kemih  sehingga memungkinkan terjadinya inkontinensia overflow
4. Lesi di akar dorsal di S2 – S4 (the Mixed Type B Bladder)
Lesi ditempat ini mengakibatkan kelumpuhan sensorik, klien tidak memiliki sensasi untuk berkemih akan tetapi fungsi motoriknya masih bagus sehingga klien mengeluarkan urin tanpa didahului rasa ingin berkemih.. hal ini akan menimbulkan inkontinensia urin pada umumnya.
5. Lesi di Lower Motor Neuron  (dibawah T12 – L1) dan saraf perifer
Lesi di Lower Motor Neuron mengakibatkan klien merasa ada sensasi sadar untuk membatalkan akan tetapi tidak memiliki refleks untuk berkemih karena hilangnya sensibilitas kandung kemih. Proses miksi secara volunter juga menghilang dan mekanisme untuk kontraksi detrusor hilang dan hal ini mengakibatkan hipokontraktil pada kandung kemih. Compliance kandung kemih juga hilang.
Pada saraf perifer, Diabetes melitus dan AIDS adalah 2 kondisi yang mengakibatkan periferal neuropathy yang menyebabkan retensi urin. Penyakit ini merusak saraf kandung kemih, distensi kandung kemih akan tetapi terasa tidak nyeri. Pada pasien diabetes kronis akan kehilangan sensasi dari kandung kemih
2.8 Komplikasi
Komplikasi utama kandung kemih neurogenik adalah infeksi yang terjadi akibat stasis urin dan kateterisasi yang dilakukan kemudian. Hipertrofi dinding kandung kemih juga terjadi dan akhirnya menimbulkan refluks vesikouretral (kembalinya urin dari kandung kemih ke dalam ureter) dan hidronefrosis (dilatasi struktur internal ginjal dengan meningkatnya tekanan dari urin yang mengalir balik). Pada klien dengan neurogenic bladder  juga memungkinkan untuk meningkatkan resiko gangguan saluran keluar kandung kemih (bladder outlet obstruction).  (Ginsberg 2013). 
Urolitiasis (batu dalam saluran kemih) dapat terjadi akibat stasis serta infeksi kemih dan demineralisasi tulang karena tirah baring yang lama. Pada klien dengan neurogenic bladder , jika mereka tidak diobati secara optimal maka juga bisa menyebabkan batu buli, sepsis dan gagal ginjal Gagal ginjal merupakan penyebab utama kematian pada pasien gangguan neurologik vesika urinaria (Smeltzer & Bare, 2010).

2.9 Prognosis
Prognosis baik jika segera ditangani dan tidak sampai terjadi gagal ginjal. Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. (Patrick J. Shenot, MD,2012)


BAB 3
Asuhan Keperawatan Kasus
STUDI KASUS
Pada tanggal 10 Maret 2016 Tn. N berusia 62 tahun datang ke RS Haji dengan keluhan kencing terus-menerus namun keluarnya sedikit-sedikit. Klien bercerita bahwa seminggu yang lalu klien terpeleset saat di kamar mandi dan jatuh terduduk.  Keluarga klien mengatakan bahwa Tn. N memiliki riwayat penyakit stroke. Pemeriksaan TTV pasien menunjukkan suhu 39°C, nadi 90x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, RR 20x/menit. Dari hasil laboraturium urin belum menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi, Ph urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3 juta sel/mm3; WBCs (White Blood Cells) 10.500 sel/mm3.
A.       Pengkajian
1)      Identitas
a)      Nama                   : Tn N
b)      Jenis kelamin       : laki-laki
c)      Umur                   : 62 tahun
d)     Agama                 : islam
e)      Pendidikan          : SD
f)       Pekerjaan             : petani
g)      Alamat                 : Jl. Melati no. 13 Surabaya
h)      Tanggal masuk     : 10 Maret 2016 jam 10.00 WIB
2)      Riwayat Kesehatan
a)      Alasan masuk rumah sakit
Sejak terpeleset di kamar mandi, Tn N mengeluh sering kencing namun keluarnya sedikit-sedikit.
b)      Keluhan Utama
Merasa sakit di perut bagian bawah ketika kencing dan ketika ditekan.
c)      Riwayat penyakit sekarang
Seminggu sebelum MRS, klien jatuh terpeleset di kamar mandi. Klien duduk terjatuh. Beberapa hari setelahnya klien kencing terus-menerus namun keluar sedikit-sedikit disertai rasa sakit di perut bawah.
d)     Riwayat penyakit dahulu
Stroke
e)      Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal seperti klien.
3)      Pemeriksaan Fisik
a)      Status kesehatan umum
Kesadaran            : compos mentis
Suhu                    : 39°C
Nadi                     : 90/menit
Tekanan Darah    : 120/80 mm/Hg
RR                       : 20x/menit
b)      Review of System
-        B1 (Breathing)
Respirasi rate klien 20x/menit
-        B2 (Blood)
Tekanan darah klien 120/80 mmHg
-        B3 (Brain)
GCS = 456
-        B4 (Bladder)
Kandung kemih penuh, sering berkemih tapi sedikit, distensi bladder. Jumlah urin 500 ml/hari.
-        B5 (Bowel)
Tidak ditemukan masalah.
-        B6 (Bone)
Tidak ditemukan masalah.
4)      Pemeriksaan Penunjang
Belum dilakukan
5)      Pemeriksaan Laboraturium
pH urin 6                   (normal: 4,5-7,5)
RBCs 3juta sel/mm3(normal: 3,2-5,2 juta sel/mm3)
WBCs 10.500sel/mm3(normal: 3.500-10.000sel/mm3)



No.
Data
Etiologi
Masalah keperawatan
1.       
DS: klien mengaku sering kencing, namun hanya sedikit
DO: pada pemeriksaan fisik, di temukan adanya distensi kandung kemih dan suara dullness ketika dilakukan perkusi
Klien terpeleset dan jatuh di kamar mandi

Cedera medulla spinalis (persarafan parasimpatis)
 

Ketidak mampuan otot detrusor untuk mengosongkan kandung kemih

Distensi kandung kemih

Sering kencing namun hanya sedikit

Inkontinensia urine overflow
2.       
DS: klien mengeluh nyeri perut bagian bawah ketika kencing
DO: 
P: nyeri kandung kemih
Q: nyeri seperti tertusuk jarum
R: perut bagian bawah (kandung kemih)
S: 7
T: ketika ditekan
Trauma medulla spinalis

Inflamasi daerah medulla spinalis

Aktivasi reseptor inflamasi (bradikinin, prostaglandin, dll)
Nyeri akut
3.       
DS: klien mengaku kencingnya hanya sedikit
DO: pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya distensi kandung kemih
Perkusi kandung kemih ditemukan suara dullnes
Trauma medulla spinalis
 

Cedera pada persarafan parasimpatis
 

Melemahnya kontraksi otot detrusor kandung kemih
 

Menurunnya kemampuan berkemih
 

Urin terkumpul di kandung kemih
Retensi urine

DS: klien mengeluh badannya lemas, dan panas
DO:  Pemeriksaan TTV pasien menunjukkan suhu 39°C
Retensi urine

Media pertumbuhan virus

Respon inflamasi
hipertermi



No.
Diagnose keperawatan
Domain
Class
Code
1.       
Nyeri akut berhubungan dengan luka fisik
12 (comfort)
1 (physical comfort)
00132
2.       
Inkontinensia urine overflow berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik
3 (elimination and exercise)
1 (urinary function)
00176
3.       
Retensi urine berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik
3 (elimination and exercise)
1 (urinary function)
00023
4.       
Hipertermi berhubungan dengan infeksi
11 (safety/ protection)
6 (thermoregulation)
00006

Diagnose: Nyeri akut berhubungan dengan luka fisik
Tujuan: klien tidak merasa nyeri
Kriteria hasil: a. klien dapat mengungkapakn faktor penyebab nyeri (160501)
b. klien mau menggunakan non analgesic untuk mengurangi nyeri (160504)
c. klien menggunakan analgesic apabila direkomendasikan (160505)
d. melaporkan apabila nyeri mulai terkontrol (160511)
Intervensi
Rasional
Managemen nyeri (1400)
a.       Kaji tingkat nyeri
b.      Gunakan komunikasi terapeutik selama perawatan
c.       Pertahankan tirah baring
d.      Berikan teknik non analgesic (distraksi, napas dalam, relaksasi)
e.       Berikan analgesic sesuai dengan program terapi

a.       Memberikan informasi tentang efektivitas intervensi
b.      Untuk memberikan rasa aman dan nyaman serta mengurangi rasa nyeri pada klien
c.       Meningkatkan pola berkemih normal
d.      Teknik non analgesic diberikan untuk mengurangi komplikasi serta untuk menurunkan rasa nyeri
e.       Analgesic memblokir jalan nyeri
Diagnose: Inkontinensia urine overflow berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik
Tujuan: hilangnya distensi kandung kemih, dan dapat berkemih secara normal dengan aliran yang lancar
Kriteria hasil: a. klien dapat berkemih dengan puas (050209)
b. masukan cairan secara adekuat (050215)
c. klien dapat berkemih di toilet secara mandiri (050217)
d. klien dapat berkemih >100-200 ml (050210)
Intervensi
perawatan inkontinensia urine (0610)

1.      Berkonsultasi dengan physican untuk obat-obatan untuk meringankan detrusor sfingter (DSD)
2.      Mengelola vitamin c dan cranberry tablet, seperti yang diperintahkan
3.      Memonitor residual urine (sebaiknya tidak lebih dari 50 ml)
4.      Menguji sampel urine terkontaminasi bakteri
5.      Mempertahankan teknik steril untuk kateterisasi intermittent sementara klien hospitalized (lenke et al, 2005) teknik bersih digunakan di rumah
6.      Menghindari menggunakan kateter berdimnya kecuali diindikasikan oleh situasi individu klien (misalnya inability untuk melakukan CISC karena imobilisasi)
Rasional

a.       DSD adalah associated dengan jumlah besar sisa urine.
b.      Urine asam menghalangi pertumbuhan bakteri yang paling terlibat dalam cystis.
c.       Monitor mendeteksi masalah awal, yang memungkinkan intervensi yang cepat untuk mencegah statis urine.
d.      Bakteri menghitung lebih dari 10 urine menunjukkan infeksi, ketika piuria hadir. Beberapa dokter mungkin tidak ingin memperlakukan sampai klien memiliki gejala. Penyebab paling umum dari infeksi bakteri diperkenalkan oleh cargiver yang tidak mencuci tangan secara memadai antara klien
e.       Kateter yang behubungan dengan infeksi saluran kemih berhubungan dengan kateter meluncur masuk dan keluar dari uretra, yang memperkenalkan pathogen.
Diagnose: retensi urine berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik
Tujuan: tidak ada distensi kandung kemih
Kriteria hasil: a. klien dapat berkemih >100-200 ml (050210)
b. klien tidak mengalami infeksi kandung kemih (050214)
c. klien dapat berkemih secara adekuat (050216)
d. klien berkemih >150 ml setiap waktu (050206)
intervensi
perawatan retensi urine (0620)
1.      Dorong pasien utnuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
2.      Tanyakan pasien tentang inkontinensia stres.
3.      Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan ketakutan.
4.      Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih..
5.      Perkusi/palpasi area suprapubik


Rasional
a.         Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.
b.         Tekanan ureteral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih.
c.          Berguna untuk mengevaluasi obsrtuksi dan pilihan intervensi.
d.         Retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas.
e.          Distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapubik.




BAB 4
Penutup
4.1  Kesimpulan
            Gejala neurogenik bladder berkisar antara kurang berfungsi hingga overaktifitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter  urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau overaktifitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung kemih (A.J. Wein, 2007). Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya Neurogenic Blader sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis, selain itu kondisi lain yang dapat menyebabkan neurogenic bladder adalah penyakit degeneratif neurologis (multiple sklerosis dan sklerosis lateral amiotropik), kelainan bawaan tulang belakang (spina bifida).Disfungsi kandung kemih juga umum terdapat di kasus spina bifida, 40% dari anak dengan spina bifida berumur 5 tahun dan 61% dari kasus spina bifida yang sudah dewasa memiliki pengalaman inkontinensia urin (Verhoev, 2005).
            David Ginsberg dalam jurnalnya yang berjudul “The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder” (2013) mengatakan bahwa neurogenic bladder atau kandung kemih neurogenik merupakan penyakit yang menyerang kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. Menurut Peter (2012) terdapat klasifikasi dari neurogenic bladder yang popular dan berdasarkan lokasi lesi neurologis. Sistem ini dijadikan panduan untuk terapi farmakologi dan intervensi lain.


Daftar Pustaka
A. J. Wein, (2007)“Lower urinary tract dysfunction in neurologic injury and disease,” in Campbell-Walsh Urology, A. J. Wein, L. R. Kavoussi, A. C. Novick, A.W. Partin, and C. A. Peters, Eds., pp. 2011–2045, Saunders, New York, NY, USA, 9th edition,
A. Manack, S. P. Motsko, C. Haag-Molkenteller et al., (2011) .“Epidemiology and healthcare utilization of neurogenic bladder patients in a US claims database,” Neurourology and Urodynamics, vol. 30, no. 3, pp. 395–401,.
Benevento B.T. and Marca L. Sipski. 2002.Neurogenic Bladder, Nuerogenic Bowel, and Sexual
Black, J. M. Medical-Surgical Nursing Ed.8th. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2009
Carpenito, Lynda Juall. (2009). Nursing Care Plan & Documentation edisi 5. China: Library of Catloging
Charlene J. reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica, 2001.
Dorsher, Peter T.; McIntosh, Peter M., (2011). ‘Neurogenic Bladder’. Review articer, Advance in Urology, volume 2012, ID 816274, pg 16. Hindawi Publishing Corporation
Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys Ther. 82 (6): 601-612. Faiz and Moffat. 2004. At a Glance ANATOMI. Jakarta : Erlangga
Elsevier. 2012. Nursing Diagnosis : Urinary Tracty Infection. Saunders : Elsevier
Febriyanto, Rhyno. Bernadetha Nadeak. etc. (2012). Kandung Kemih Neurogenik pada Anak: Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana. Jakarta : Majalah Kedokteran FK UKI 2012 Vol XXVIII No.
Ginsberg, D. (2013). The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder. The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194.

Guyton, Arthur C dan Hall John. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Japaradi, D. I. (2002). Manifestasi neurologis gangguan miksi. Medan: USU digital Library , 4-6.
Lemone, Priscilla, Burke, Karen, (2008). Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in Client Care, 4th edition. Pearson Education, Inc.,
M. Verhoef, M. Lurvink, H. A. Barf et al., (2005) “High prevalence of incontinence among young adults with spina bifida: description, prediction and problem perception,” Spinal Cord, vol. 43, no. 6, pp. 331–340,
Morton, Patricia Gonce, fontaine, Dorrie, C., (2013). Essential of Critical Care Nursing : a Holistic Approach. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Nursalam. (2008). Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik . Jakarta: Salemba Medika.
R. S. Lansang and A. C. Krouskop, (2004). “Bladder management,” in eMedicine, T. L. Massagli et al., Ed.,
Rackley   R.   2009.  Neurogenic   Bladder.   Medscape   reference.   In   : http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 3 April 2011
Saputra, Dr. Lyndon. (2012). Buku Saku Kpererawatan Klien dengan Gangguan Fungsi Renal dan Urologi Disertai Contoh Kasus Klinik. Tanggerang: Bina rupa Aksara Publisher.
Shenot,Patrick J. (2012). Merck Manual Home Health Handbook Neurogenic Bladder. http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders/disorders_of_urination/neurogenic_bladder.html  Diakses pada 22 Maret 2016 pukul 9:11 WIB
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2004). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2010). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 10th edition.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins
Snell, Richard S. 2013. Neuroanatomi Kilinik Edisi 6 untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC.
The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194 (2013).NeurogenicBladder.
Willacey, Haley (2012) http://patient.info/doctor/neurogenic-bladder. Diakses pada 13 Maret 2016 pukul 14.32



Tidak ada komentar:

Posting Komentar