Minggu, 22 Mei 2016

AKEP AKUT PYELONEPHRITIS DAN KRONIK PYELONEPHRITIS






MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
UPPER URINARY TRACT INFECTIONS : ACUTE PYELONEPHRITIS DAN CRONIC PYELONEPHRITIS


Fasilitator:
Herdina M., S.Kep., Ns, M.Kep
Disusun oleh :
Kelompok 5
Kelas A1
1.      Irma Farikha                                              131311133004
2.      Siti Nur’aini                                              131311133010
3.      Febyana Dwi Cahyanti                             131311133051
4.      Sinta Pradikta                                           131311133069
5.      Nina Agustina                                           131311133078
6.      Asiadi                                                        131311133111
7.      Nian Zihrul Hidayat’ E                             131311133114


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan infeksi saluran perkemihan Upper Urinary Tract Infection : Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis.”
Adapun pembuatan makalah ini dilakukan sebagai pemenuhan nilai tugas dari mata kuliah Keperawatan Perkemihan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:
  1. Herdina M., S.Kep., Ns. selaku fasilitator kelompok 5 kelas A-1 Keperawatan Perkemihan, dan
  2. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu..
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Akan tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Segala kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.
Surabaya, Maret 2016


Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................  2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ...............................................................................................  4
1.2   Rumusan Masalah.......................................................................................... 5
1.3  Tujuan.............................................................................................................. 6
1.4  Manfaat........................................................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
     2.1 Anatomi dan Fisiologi..................................................................................... 8
     2.2 Definsi ............................................................................................................  11
     2.3 Etiologi ...........................................................................................................  13
     2.4 Patofisiologi ...................................................................................................  15
     2.5 Manifestasi klinis ...........................................................................................  16
     2.6 Pemeriksaan diagnostic ..................................................................................  18
     2.7 Penatalaksanaan .............................................................................................  21
     2.8 Komplikasi .....................................................................................................  24
     2.9 Prognosis......................................................................................................... 25
     2.10 Pencegahan ..................................................................................................  25
     2.11 WOC ............................................................................................................  26
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
2.1  Pengkajian .....................................................................................................  27
2.2  Pemeriksaan Fisik........................................................................................... 28
2.3  Pemeriksaan Diagnostik................................................................................. 29
2.4  Diagnosa......................................................................................................... 29
2.5  Intervensi........................................................................................................ 30
2.6  Evaluasi.......................................................................................................... 32
BAB 4 PENUTUP
4.1  Kesimpulan..................................................................................................... 33
4.2  Saran ..............................................................................................................  33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 34


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Infeksi saluran kemih diartikan sebagai infeksi yang terjadi di saluran kemih, baik dari ginjal sampai uretra. Infeksi ini bisa terjadi akibat adanya mikroorganisme seperti bakteri, jamur, maupun virus atau terjadi akibat adanya proliferasi dalam saluran kemih (Corwin 2009).
Penyebab tersering pada infeksi saluran kemih adalah bakteri Escherichia coli dan organisme lain (seperti Proteus, Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas) biasanya berhubungan dengan abnormalitas struktural atau kateterisasi dan reinfeksi (Rubeinstein et al 2005). Faktor risiko lain adalah anak perempuan dan wanita. Hal ini dikarenakan panjang uretra wanita lebih pendek dari pria sehingga memungkinkan mikroorganisme masuk dan langsung menginvasi saluran kemih. Kebiasaan menahan kencing juga lebih banyak dilakukan oleh anak perempuan dan wanita (terutama wanita hamil dengan relaksasi otot polos oleh progesteron) dan infeksi yang terjadi atau iritasi kulit lubang uretra saat melakukan hubungan seksual membuat risiko mengalami infeksi saluran kemih meningkat. Jika pada pria, penyebab terseing mengalami infeksi saluran kemih adalah BPH atau prostatitis (Corwin 2009).
Akan tetapi, wanita memiliki lapisan pelindung terhadap mikroorganisme yang bersifat antimikroba yakni adanya pembentukan mukus dependen estrogen yang memungkus kandung kemih. Proteksi ini menurun pada wanita menopause yang memiliki kadar estrogen yang berangsur-angsur berkurang. Pada dasarnya pada wanita dan pria faktor protektif internal terbentuk karena sifat urin yang asam yang berfungsi sebagai antibakteria (Corwin 2009).
Pada wanita, kejadian pielonefritis bertambah 3-4 kasus per 10.000 populasi setiap tahunnya dan pada pria bertambah 1-2 kasus per 10.000 populasi per tahun dengan insidensi wanita berusia muda adalah terbanyak diikuti oleh infant dan lansia. Penyebab dengan Escherichia coli sebanyak 80% pada wanita dan 70% pada pria dan menurun pada usia lanjut. (Czaja et al 2007)
Infeksi saluran kemih dibedakan menjadi dua berdasarkan letak infeksi yakni Infeksi saluran kemih bagian atas dan Infeksi saluran kemih bagian bawah. Untuk Infeksi saluran kemih bagian atas memilike manifestasi klinis seperti demam (>390C),  kekakuan, malaise, anoreksia, nyeri pinggang, disuria, frequency, urgency dengan faktor predisposisi batu, refluks, obstruksi, dan kelainan neurogenik kandung kemih. Infeksi saluran kemih bagian atas ini menyebabkan pielonefritis (Davey 2003).
Pielonefritis adalah peradangan pada jaringan ginjal dan pelvis ginjal. Pielonefritis dapat bersifat akut atau kronis dan sering disertai dengan sistitis. Pielonefritis akut ditandai dengan nyeri pinggang, demam, menggigil, dan vomitting dengan tatalaksana pemberian makanan cairan tawar dan monitoring kartu balans cairan juga kemoterapi bisa dianjurkan. Sedangkan untuk pielonefritis kronis muncul bersama dengan hipertensi yang dapat berakibat pada kegagalan ginjal (Pearce 2005). Pielonefritis kronis dapat membentuk jaringan parut dan obstruksi tubulus yang luas sehingga berkurangnya kemampuan ginjal untuk memekatkan urin (Corwin 2009).
Pielonefritis pada ginjal yang mengalami obstruksi adalah tindakan emergency untuk mencegah kehilangan substansi ginjal yang irreversible. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan mikroskopik urin dan kultur urin yang menunjukkan piuria (leukosit >100.000 sel/mL, bakteriuria, disertai hemeturia mikroskopik bahkan makroskopik.) (Davey 2003). Jika penyebabnya adalah TBC maka akan ditemukan piuria steril (Rubenstein et al  2005).

1.2    Rumusan Masalah
1.         Apakah definisi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
2.         Bagaimana klasifikasi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
3.         Bagaimana etiologi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
4.         Bagaimana patofisiologi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
5.         Bagaimana manifestasi klinis dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
6.         Apa saja pemeriksaan diagnostik dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
7.         Bagaimana penatalaksanaan dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
8.         Apa saja komplikasi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
9.         Apa saja prognosis dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
10.     Bagaimana asuhan keperawatan untuk Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?



1.3    Tujuan
1.         Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini agar mahasiswa mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Upper Urinary Tract Infection (Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis).
2.         Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan :
1.        Mengetahui definisi Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
2.        Mengetahui penyebab Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
3.        Mengetahui patofisiologi Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
4.        Mengetahui manifestasi klinis Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
5.        Mengetahui pemeriksaan diagnostik Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
6.        Mengetahui penatalaksanaan dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
7.        Mengetahui komplikasi Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
8.        Mengetahui prognosis Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
9.        Mengetahui pencegahan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
10.    Mengetahui WOC Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
11.    Mengetahui asuhan keperawatan pada Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis

1.4    Manfaat
1.         Mahasiswa dapat menjelaskan definisi Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
2.         Mahasiswa dapat menjelaskan penyebab dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
3.         Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
4.         Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
5.         Mahasiswa dapat menegakkan asuhan keperawatan pada pasien Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
6.         Mahasiswa dapat mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
7.         Mahasiswa dapat mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
8.         Mahasiswa dapat mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien dengan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
9.         Mahasiswa dapat mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien dengan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
10.     Mahasiswa dapat mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Anatomi dan Fisiologi
            2.1.1    Anatomi Ginjal
 









Gambar 1. Anatomi Ginjal, Adrenal Gland dan Sistem Pembuluh Darah.

Ginjal terletak di ruang retroperitoneal antara vetebra torakal dua belas atau lumbal satu dan lumbal empat. Panjang dan beratnya bervariasi ± 6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup bulan, sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir ginjal sering dapat diraba. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobus-lobus yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur. Tiap ginjal terdiri atas 8-12 lobus berbentuk piramid. Ginjal memiliki lapisan luar, yaitu korteks yang mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens, serta lapisan dalam yaitu medula, yang mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta dan duktus koligens terminal (Rusdidjas,2002).


 














Gambar 2. Struktur anatomi ginjal pada ginjal kanan dan posisi ginjal pada CT scan.

            Puncak piramid medula menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan ujung kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada duktus pipalaris Bellini yang ujungnya bermuara di  papil ginjal dan mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Karena ada 18-24 lubang muara duktus Bellini pada ujung papil maka daerah tersebut terlihat sebagai tapisan beras dan disebut area kribrosa (Rusdidjas,2002).
Antara dua piramid terdapat jaringan korteks tempat masuknya cabang-cabang arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor membentuk kaliks mayor yang bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal dan kemudian bermuara ke dalam ureter. Ureter kanan dan kiri bermuara di vesika urinaria. Urin dikeluarkan dari vesika urinaria melalui uretra (Rusdidjas,2002).
                        Tiap ginjal menerima kira-kira 25 persen isi sekuncup jantung. Bila diperbandingkan dengan berat organ ginjal hal ini merupakan suplai darah terbesar di dalam tubuh manusia. Suplai darah pada setiap ginjal biasanya berasal dari arteri renalis yang keluar dari aorta, arteri renalis bercabang-cabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan melewati medula menuju ke batas antara korteks dan medula. Disini, arteri interlobaris becabang membentuk arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan permukaan ginjal. Arteri interlobaris bersaal dari arteri akuata dan bercabang menjadi arteriol aferen glomerulus. Sel-sel otot khusus di dinding arteriol aferen, dengan sel alcis seta bagian dari tubulus distal yang berdekatan dengan glomerulus (makula densa), membentuk aparat jukstaglomerular yang mengendalikan sekresi renin. Arterio aferen bercabang-cabang menjadi jalinan kapiler glomerulus yang kemudian bergabung lagi menjadi arteriol eferen (Rusdidjas,2002).
                        Tiap ginjal mengandung 1 juta nefron (glomerulus dan tubulus yang berhubungan dengannya). Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada janin 35 minggu. Perkembangan paling cepat terjadi pada 5 tahun pertama setelah lahir. Tiap nefron terdiri atas glomerulus dan kapsula Bowman, tubulus proksimal, asa Henle dan tubulus distal. Glomerulus bersama kapsula Bowman juga disebut badan Malphigi. Fungsi ginjal normal terdiri atas 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu : ultrafiltrasi glomerulus; reabsorpsi tubulus terhadap solut dan air; sekresi tubulus terhadap zat-zat organik dan non organik (Rusdidjas,2002).

2.1.2    Fisiologi
Menurut Rusdidjas,2002 Fungsi ginjal secara keseluruhan dibagi menjadi 2, yaitu :
1.         Fungsi Eksresi
a.         Eksresi sisa metabolit protein
Sisa metabolit protein yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik dan asam urat dikeluarkan melalui ginjal.
b.        Regulasi cairan tubuh
Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui arteri karotis interna ke osmoreseptor di hipotalamus anterior. Rangsangan tersebut diteruskan ke kelenjar hipofisis posterior sehingga produksi hormon anti-diuretik (ADH) dikurangi dan akibatnya diuresis menjadi banyak.  Sebaliknya, bila tubuh kekurangan cairan, maka produksi ADH akan bertambah sehingga produksi urin berkurang karena penyerapan air di tubulus distal dan duktus koligens bertambah.
c.         Menjaga keseimbangan asam basa
Keseimbangan asam basa tubuh diatur oleh pari dan ginjal. Paru menjaga jumlah H2CO3 plasma (N = 1,15 -1,35 mEq/l) dengan mengatur kadar pCO2 dan ginjal menjaga konsentrasi NaHCO3 (N = 25-27 mEq/l) dengan cara menyerap NaHCO3 dan mensekresi H+.
2.         Fungsi Endokrin
a.         Eritropoesis
Pembentukan sel darah merah diperlukan zat eritropetin. Eritropoetin dirubah dari proeritropoetin yang mungkin dibuat dalam hati oleh zat yang diproduksi ginjal yang disebut faktor eritropoetik gijal (kidney eritropoetic factor).
b.        Pengaturan tekanan darah
Ginjal menghasilkan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah. Bila terjadi iskemia ginjal maka granula renin akan dilepaskan dari aparta jukstaglomerular. Renin akan merubah angiotensin di dalam darah menjadi Angiotensin I, kemudian dirubah menjadi Angiotenin II oleh enzim konvartase di paru. Angitensin II mempunyai efek yaitu mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan merangsang korteks adrenal untuk memproduksi aldosteron. Aldosteron bersifat meretensi air dan natrium sehingga akibatnya volume darah bertambah.
c.         Keseimbangan kalsium
Ginjal juga  mempengaruhi metabolisme kalsium, khususnya penyerapan kalsium, dengan mengkonversi prekursor vitamin D menjadi bentuk yang paling aktif, 1,25-dihydroxyvitamin D.

2.2       Definisi Pyelonephritis Umum
Pyelonephritis merupakan infeksi bakteri pada ginjal, tumulus dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua ginjal (Brunner & Suddarth, 2002).
Infeksi saluran kencing bagian atas (pyelonephritis) adalah infeksi perenchym ginjal. Keluhan-keluhan yang menyebabkan penderita datang berkonsultasi adalah demam dan nyeri pinggang, simptom-simptom infeksi saluran kencing bagian bawah. Contoh; urin khas menunjukkan bakteriuria yang bermakna, pyuria dan kadang-kadang silinder leucocyt. Infeksi saluran urogenital di tampat-tampat lain (misalnya epididymis, prostat, daerah perinephric) sering berkaitan dengan bakteri yang jumlahnya kurang dari 1000/ml dan mempunyai menifestasi klinis yang berbeda (Woodley dan Whenlan, 1992).

Pielonefritis dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.         Pielonefritis akut
2.         Pyelonefritis kronis

2.2.1    Acute Pyelonephritis
Acute Pyelonephritis merupakan reaksi inflamasi atau peradangan supurative pada parenkim dan pelvis ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Pielonefrtis akut biasanya merupakan lanjutan dari Sistitis akut secara ascenden.
Biasanya kuman berasal dari saluran kemih bagian bawah naik ke ginjal melalui ureter. Kuman - kuman itu antara lain adalah E Colli, Proteus, Klebsiella, Strep faecalis dan enterokokus. Kuman Stafilokokus aureus  dapat menyebabkan pielonefritis melalui penularan secara hematogen, meskipun sekarang jarang dijumpa
Acute Pyelonephritis seringkali disertai demam, rasa dingin, pedih pada bagian yang sakit, sering buang air kecil, dan sensasi seperti terbakar saat buang air kecil. Pada infeksi  ginjal akut, leukositosis, neutrofilia, dan kenaikan laju endap darah serta protein C-reaktif biasa terjadi. Pyelonephritis akut dapat mempengaruhi sementara fungsi ginjal.

2.2.2    Chronic Pyelonephritis
Pyelonephritis kronis terjadi secara bertahap, biasanya tanpa gejala dan penyakit ini dapat mengarah pada kerusakan ginjal dan uremia. Penyakit ini lebih umum dijumpai pada wanita dibanding pada laki-laki dan sering terjadi pada penderita diabetes. (Media Indonesia, 2006).
Pielonefritis Kronis adalah lanjutan dari pielonefritis akut muncul bersama dengan hipertensi yang dapat berakibat pada kegagalan ginjal (Pearce 2005).
Pielonefritis kronik dapat merusak jaringan ginjal secara permanen karena inflamasi yang berulang dan terbentuknya jaringan parut yang meluas. Proses berkembangnya gagal ginjal kronik dari infeksi ginjal yang berulang berlangsung selama beberapa tahun.
Pyelonefritis kronis mungkin memperlihatkan gambaran mirip dengan pyelonephritis akut, tetapi juga dapat menimbulkan hipertensi dan akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal. (Elizabeth J. Corwin, 2008).
Pielonefritis kronis dapat membentuk jaringan parut dan obstruksi tubulus yang luas sehingga berkurangnya kemampuan ginjal untuk memekatkan urin (Corwin 2009)

2.3       Etiologi
                        Penyebab terbanyak ISK, baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik, termasuk pada neonatus adalah Escherichia coli (70-80%). Penyebab yang lainnya seperti: Klebsiella, Proteus, Staphylococcus saphrophyticus, coagulase-negative staphylococcus, Pseudomonas aeroginosa, Streptococcus fecalis dan Streptococcus agalactiiae, jarang ditemukan (Rusdidjas,2002).
 













Tabel 1 Bakteri penyebab ISK (Fulop T et al,2014).

Menurut Grace,2006 faktor risiko infeksi saluran kemih (ISK) :
1.      Obstruksi saluran kemih
2.      Pemasangan instrument pada saluran kemih (misalnya kateter)
3.      Disfungsi kandung kemih (neuropatik)
4.      Imunosupresi
5.      Diabetes melitus
6.      Kelainan structural (misalnya refluks vesikoureter)
7.      Kehamilan

2.3.1      Acute Pyelonephritis
Pielonefritis akut pada umumnya disebabkan oleh bakteri asendent dari saluran kemih bagian bawah dan ada juga yang melalui peredaran darah atau hematogen. Penyebab lainya diantaranya: (Grace, Broley , 2007)
a.       Bakteri (escherchia coli)
b.      Obstruksi urinari track, misalnya batu ginjal atau pembesaran prostat.
c.       Refluks vesikoureter, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih kembali ke ureter
d.      Kehamilan
e.       Penurunan Imunitas
2.3.2                  Chronic Pyelonephritis
              Pielonefritis kronis umumnya terjadi akibat infeksi ginjal berulang oleh bakteri enteric. Penyebab pielonefritis kronis adalah: (Grace, Broley , 2007)
a.       Faktor utama :
-          Obstruksi saluran kemih
-          Frekuensi (pielonefritis akut yang terus-menerus), Infeksi bakteri ginjal akut.
b.      Faktor pendorong :
-          Bakteri (escherchia coli)
-          Batu saluran kemih
-          Refluks vesikoureter
-          Diabetes mellitus
-          Disfungsi neurogenik bladder
-          Infeksi saluran kemih bagian bawah
2.4       Patofisiologi
        Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphilococus aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut. E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Organisme juga dapat sampai ke ginjal melalui aliran darah atau aliran getah bening, tetapi cara ini jarang sekali terjadi (Naber, 2004).
Obstruksi aliran kemih dan refluks vesikoureter dapat menjadi faktor predisposisi dalam perkembangan infeksi saluran kemih. Obstruksi saluran kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter. Hal tersebut dapat mengakibatkan atrofi pada parenkim ginjal, di samping itu obstruksi yang terjadi di bawah kandung kemih sering disertai refluks vesikoureter dan infeksi pada ginjal. Aliran balik (refluks) dari kemih yang terinfeksi memasuki parenkim ginjal mengakibatkan terjadinya jaringan parut ginjal (Price, 2013).
Infeksi bakteri dari saluran kemih bagian bawah ke arah ginjal, hal ini akan mempengaruhi fungsi ginjal. Abses dapat di jumpai pada kapsul ginjal dan pada taut kortikomedularis. Pada akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta glomerulus terjadi. Kerusakan pada ginjal akan menyebabkan meregangnya kapsul ginjal (dipersarafi medulla spinalis segmen Thorakal 11 sampai Lumbal 2) yang menimbulkan rasa nyeri disekitar bagian pinggang atau flank pain (Snell, 2006).
Demam terjadi diawali oleh adanya infeksi atau invasi mikroorganisme (misalnya bakteri atau virus) ke dalam tubuh hingga ke sistema peredaran darah. Keberadaan mikroorganisme dalam tubuh memacu aktivasi makrofag yang merupakan usaha pertahanan tubuh terhadap masuknya benda asing. Makrofag kemudian menghasilkan suatu zat kimia, pyrogen endogen, yang nantinya akan melepaskan prostaglandin di hypothalamus. Peningkatan jumlah prostaglandin ini mengubah set point suhu normal tubuh yang diatur oleh hypothalamus sebagai thermoregulator menjadi lebih tinggi daripada normal (Sherwood, 2004).

PYELONEPHRITIS


Refluks vesikoureter

Membawa urin dan bakteri dari kandung kemih kembali ke ginjal

Kehamilan 

Penekanan pada vesika dan saluran kemih

Penurunan Imunitas


Tubuh rentan terinfeksi bakteri

Bakteri berkembang biak

Penyebab (Bakteri E. Coli) (escherchia coli) (escherchia coli)


Masuk ke uretra


Penyebaran secara assenden


Bakteri resisten


Terjadi Inflamasi


Adanya obstruksi


Terjadi Inflamasi


Kuman menempel dan berkolonisasi


Kuman menetap di dinding saluran kemih

 














2.5       Manifestasi Klinis
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Pada bayi baru lahir manifestasi klinis hanya muncul gejala yang tidak spesifik seperti penurunan nafsu makan, anak menjadi rewel, ikterik, dan penurunan berat badan (Pardede,2011).
Tabel 2. Manifestasi Klinis Neonatus – Anak Usia 6-11 tahun dengan ISK (Fisher DJ,2014)









2.5.1    Manifestasi Acute Pyelonephritis
Manifestasi pielonifritis akut antara lain:
1.         Demam (39,5 – 40,5) disertai gejala menggigil, sakit pinggang. Manifestasi ini sering didahului gejala-gejala ISK bawah (Sistitis) antara lain sakit suprapubik, polaksiuria, nokturia, disuria, straguria (Sukandar,2007).
2.         Terjadi kekauan
3.         Mual dan Muntah
4.         Anoreksia
5.         Nyeri pinggang
6.         Disuria
7.         Pyuria
8.         Leukositosis
9.         Bakteriuria
10.     Hematuria mikroskopik
11.     Tes kultur dan sensivitas >100.000 organisme per ml

2.5.2        Manifestasi Chronic Pyelonephritis
       Terjadi akibat infeksi yang berulang-ulang, sehingga kedua ginjal perlahan-lahan menjadi rusak. Tanda dan gejala:
a.         Adanya serangan pielonefritis akut yang berulang-ulang biasanya tidak mempunyai gejala yang spesifik.
b.         Adanya keletihan.
c.         Sakit kepala, nafsu makan rendah dan BB menurun.
d.        Adanya poliuria, haus yang berlebihan, azotemia, anemia, asidosis, proteinuria, pyuria dan kepekatan urin menurun.
e.         Kesehatan pasien semakin menurun, pada akhirnya pasien mengalami gagal ginjal.
f.          Ginjal mengecil dan kemampuan nefron menurun ditunjukan dengan penurunan GFR.
g.         Tiba-tiba ketika di temukan adanya hipertensi.
Manifestasi lain menurut Baughman,Diane C.2000.:
a.         Bisanya tidak menunjukkan gejala infeksi kecuali terjadi eksaserbasi akut.
b.         Keletihan,sakit kepala, dan nafsu makan menurun.
c.         Poliuria,haus berlebihan,dan penurunan berat badan
d.        Infeksi menetap dan kekambuhan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut pada ginjal secara progresif.

2.6      Pemeriksaan Diagnostik
2.6.1             Pemeriksaan Penunjang  menurut (Mark A. Graber, 2006) :
1.         Pemeriksaan Laboratorium
·         Urinalisis
Leukosuria atau piuria : merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
Hematuria : hematuria- positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
·         Laboratorium pielonefritis akut
a.         Leukositosis, BSR meningkat
b.        Urin : keruh, piuria, bakteriuria, proteinuria kadang-kadang hematuria.
c.         Fungsi ginjal : normal
d.        Biakan air kemih ditampung dengan pungsi buli-buli suprapubik : setiap kuman patogen yang tumbuh pasti infeksi. Pembiakan urin melalui pungsi suprapubik digunakan sebagai gold standar
·         Laboratorium pielonefritis kronis
a.       Lekositosis dapat mencapai 40.000 per mm3, neutrofilia, laju endapan darah tinggi.
b.      Urin : keruh, proteinuria 1-3 gram per hari, penuh dengan pus dan kuman, kadang-kadang ditemukan eritrosit.
c.       Biakan urin selalu ditemukan bakteriuria patogen bermakna dengan CFU per ml > 105.
d.      Faal ginjal (LFG) masih normal, berat jenis urin dan uji fungsi tubulus lainnya terganggu terutama bila disertai septikemia.
               
2.         Pemeriksaan foto radiologi
·         Pielonefritis akut
Pada pemeriksaan foto polos ginjal, ginjal akan tampak membengkak pada fase akut akibat dari proses inflamasi jaringan. Foto polos perut mungkin sudah dapat memperlihatkan beberapa kelainan seperti obliterasi bayangan ginjal karena sembab jaringan,perinephritic fat dan perkapuran. Pemeriksaan ekskresi urogram sangat penting untuk mengetahui adanya obstruksi.




 






              (a)                                                  (b)
Gambar foto polos abdomen: (a) normal (b) pielonefritis akut

·         Pielonefritis kronis
Pada pielonefritis kronis, jika dilakukan  pemeriksaan  radiologi ginjal akan tampak mengecil atau normal. Gambaran  urogram (pielogram) akan normal kembali setelah mendapat pengobatan yang adekuat.
3.         Bakteriologis
a.         Mikroskopis: satu bakteri lapangan pandang >105 cfu/ mL urin plus piuria
b.        Biakan bakteri
c.         Tes kimiawi: tes reduksi griess nitrate berupa perubahan warna pada uji carik
4.         BUN
Pemeriksaan ini dikhususkan untuk memeriksa pielonefritis kronis karena pada pasien ini GFR mengalami penurunan akibat infeksi. Pada pielonefritis kadar BUN akan meningkat
5.         Creatinin
Pemeriksaan ini dikhususkan untuk memeriksa pielonefritis kronis karena pada pasien ini GFR mengalami penurunan akibat infeksi. Kadar kreatinin meningkat pada pasien dengan pielonefritis.
Indikasi untuk studi pencitraan adalah sebagai berikut:
a.       Demam atau positif hasil kultur darah yang bertahan selama lebih dari 48 jam
b.      Memburuknya tiba-tiba kondisi pasien
c.       Toksisitas bertahan selama lebih dari 72 jam
d.      Complicated UTI
e.       Pemeriksaan IVP : Pielogram intravena (IVP) mengidentifikasi perubahan atau abnormalitas struktur
f.       USG dan Radiologi : USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya

2.7         Tatalaksana
2.7.1   Acute Pyelonephritis
Pada umumnya pasien pieloefritis akut memerlukan rawat inap untuk menjaga status hidrasi untuk terapi antibiotika parenteral paling sedikit selama 48 jam. The infection disease society of America menganjurkan satu dari tiga alternative terapi antibiotika IV sebagai terapi awal 72 jam sebelum diketahui mikroorganismenya sebagai penyebabnya seperti flourokuinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosfrin spectrum luas (Sukandar,2007).
Pengobatan pielonefritis akut, untuk bayi dengan ISK dan untuk anak dengan ISK disertai gejala sistemik infeksi, setelah sampel urin diambil untuk dibiakkan, diberi antibiotik parenteral (tanpa menunggu hasil biakan urin) untuk mencegah terjadinya parut ginjal. Sebaiknya anak dirawat di rumah sakit terutama bula disertai tanda toksik (Rusdidjas,2002).
Pemberian antibiotik parenteral diteruskan sampai 3-5 hari atau sampai 48 jam penderita bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral selama 10-14 hari,disesuaikan dengan hasil biakan urin dan uji sensitivitasnya. Biakan urin ulang dilakukan setelah 48 jam tidak makan obat untuk melihat hasil pengobatan, apakah bakteriuria masih ada. Antibiotik profilaksis diberikan sampai dilakukan VCUG, dan bila ditemukan refluks antibiotik profilaksis diteruskan (Pardede,2011).
Tabel 3. Dosis antibiotika parenteral (A), oral (B), dan profilaksis (C)Rusdidjas,2002).
Obat
Dosis mg/kgBB/hari
Frekuensi/(umur)
Parentral
Amphisilin
100
@ 12 jam (bayi < 1 minggu)
@ 6-8 jam (bayi > 1 minggu)
Sefotaksim
150
@ 6 jam
Gentamisin
5
@ 12 jam (bayi < 1 minggu)
@ 8 jam (bayi > 1 minggu)
Seftriakson
75
@ 1 x/hari
Seftazidim
150
@ 6 jam
Sefazolin
50
@ 8 jam
Tobramisin
5
@ 8 jam
Ticarsilin
100
@ 6 jam
A.                Oral
Rawat jalan antibiotik oral
Amoksilin
20-40
@ 8 jam
Amphisilin
50-100
@ 6 jam
Augmentin
50
@ 8 jam
Sefaleksim
50
@ 6-8 jam
B.     Profilaksis
Sefiksim
4
@ 12 jam
1x malam hari
Nitrofurantoin *
6-7
@ 6 jam
1-2 mg/kgBB
Sulfisoksazole *
120-150
@ 6-8 jam
50 mg/kgBB
Trimetoprim *
6-12
@ 6 jam
2 mg/kgBB
Sulfametoksazole
30-60
@ 6-8 jam
10 mg/kgBB
* Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginjal

Menurut  (Mark, 2006), Penatalaksanaan Pielonefritis akut pada laki-laki maupun perempuan secara umum:
·         Indikasi Rawat Inap
a.         Dilakukan jika pasien seorang anak, bayi, ibu hamil, menderita demam tinggi, dehidrasi, tampak sakit akut, atau septic serta monitoring status hemodinamik
b.        Obati secara empiric dengan sefalosporin generasi ke tiga IV dengan atau tanpa gentamisin, fluorokuinolon IV, gentamisin dan ampisilin, ampisilin-sulbaktam atau asam tikarsilin-klavulanat sambil menunggu hasil biayan dan uji kepekaan.
c.         Hindari pemberian gentamisin dan fluorokuinolon pada pasien hamil.
d.        Obati penyakit ini secara IV selama 48 sampai 72 jm atau terbantung dari respons klinis.
e.         Lanjutkan antibiotic per oral dan kemudian selesaikan dengan antibiotic per oral selama 2-6 minggu lagi
f.         Pemberian obat-obatan untuk mengatasi nyeri, demam, dan mual
g.        Pastikan hidrasi yang mencukupi dan pemeliharaan keluaran urin yang baik dengan cairan IV atau per oral.
·         Jika pasien tidak sakit akut
a.         Obati sebagai pasien rawat jalan selama 10 hari – 6 minggu dengan TMP/SMX, fluorokuinolon (yaitu siprofoksasin 500 mg PO 2x/hari), amoksosolin-asam klavulanat, atau sefalosporin. Pilihan yang baik adalah memberikan 1-2 g seftriakson IV atau IM pada saat penegakkan diagnosis kemudian pasian dipantau dari hari ke hari.
b.        Jika perlu, dapat diberikan seftriakson dosis tambahan pada pemeriksaan lanjut jika pasien memerlukan lebih dari antibiotic per oral tetapi tidak memerlukan perawatan di RS.
·         Jika pasien tidak membaik
a.         Kolaborasi untuk dilakukan kultur ulang
b.        Harus segera dipikirkan adanya batu yang terinfeksi atau obstruksi dan ditangani dengan  efektif untuk menghindari komplikasi
c.         Pikirkan IVP atau VCUG setelah pemulihan UTI pada semua anak, pria dan wanita dengan kekambuhan yang sering atau gejala yang tidak biasa
d.        Apabila pasien tidak berespon pada obat antibiotic dan organisme diketahui sensitive terhadap antibiotic yang diberikan saat ini, maka pikirkan emfisematosa atau pembentukkan abses. Dapat dipastikan dengan pemeriksaan CT-scan




2.7.2        Chronik Pyelonephritis
Penatalaksanaan pielonefritis kronis (Baughman, Diane C. 2000):
1.      Hilangkan bacteri dalam urin
a.       Obat antimikrobal berdasarkan identifikasi kultur
b.      Nitrofurantion atau kombinasi sulfamethosazol dan trimetropin digunakan untuk menekan pertumbuhan bacteri.
2.      Dengan cermat pantau fungsi ginjal
     Dengan cermat pantau fungsi ginjal yang berhubungan dengan penurunan fungsi ekskresi ginjal terhadap preparat antimicrobial.
3.      Jika tidak ada kontraindikasi berikan  cairan lebih dan atasi penyebab : obstruksi dengan dilakukan pembedahan
4.      Jika tidak respon terhadap antibiotic, lakukan pemeriksaan radiologi
5.      Kolaborasi pembedahan
6.      Jika sudah mengalami kerusakan ginjal yang parah kolaborasi tindakan dialisis

2.8       Komplikasi
2.8.1  Acute Pyelonephritis
          Ada tiga komplikasi penting dapat ditemukan pada pielonefritis akut (J.C.E. Underwood, 2002):
·      Nekrosis papila ginjal
Nekrosis papila ginjal sebagai hasil dari proses radang, pasokan darah pada area medula akan terganggu dan akan diikuti nekrosis papila guinjal, terutama pada penderita diabetes melitus atau pada tempat terjadinya obstruksi.
·      Fionefrosis
Fionefrosis terjadi apabila ditemukan obstruksi total pada ureter yang dekat sekali dengan ginjal. Cairan yang terlindung dalam pelvis dan sistem kaliks mengalami supurasi, sehingga ginjal mengalami peregangan akibat adanya pus.
·      Abses perinefrik
Abses perinefrik pada waktu infeksi mencapai kapsula ginjal, dan meluas ke dalam jaringan perirenal, terjadi abses perinefrik.
2.8.2   Chronik Pyelonephritis
Komplikasi pielonefritis kronis mencakup (Baughman, Diane C. 2000)
1.      Penyakit ginjal tahap akhir (akibat penurunan progresif fungsi nefron sekunder akibat inflamasi dan pembentukan jaringan parut)
2.      Hipertensi
3.      Pembentukan batu ginjal (akibat infeksi kronis dengan organisme pemisah urea, mengakibatkan pembentukkan batu)

2.9       Prognosis
                        Prognosis penyakit ini bergantung pada diagnosis dan penatalaksanaan. Pada pielonefritis tanpa disertai dengan penyulit dan komplikasi pemberian terapi yang adekuat dapat memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan yang disertai dengan penyulit atau disertai dengan komplikasi (Fulop T et al,2014).
Pielonefritis akut biasanya merespon baik terhadap terapi antibiotik, dengan sebagian besar pasien menjadi asimtomatik pada waktunya

2.10    Pencegahan
            Tujuan pengobatan medis pasien yang memiliki pielonefritis tidak untuk mengobati  infeksi tetapi juga untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk infeksi berulang dan munculnya jaringan parut ginjal. The American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan anak-anak dari usia 2 tahun yang di diagnosis dengan ISK pertama harus dilakukan evaluasi untuk bukti kelainan urologi lainnya. Metode evaluasi yang digunakan berupa pemeriksaan ultrasonografi (USG), AAP merekomendasikan pemeriksaan ini karena bersifat noninvasive, mudah untuk menentukan anatomi saluran kemih.
AAP menganggap sunat memiliki manfaat kesehatan pada anak laki-laki yang baru lahir sebagai pencegahan pada infeksi ISK. Minum banyak air terutama air putih dapat membantu dalam mengeluarkan bakteri dalam saluran kemih dan teknik membersihkan kemaluan dari depan ke belakang setelah berkemih mencegah untuk terjadinya ISK. Dan sebuah studi penelitian oleh Ferrara et al menyelidiki efek minum jus cranberry sehari-hari (50 mL) pada anak perempuan berusia 3-14 tahun dengan ISK berulang dapat sebagai pencegahan gejala ISK berulang pada anak-anak (Fisher,2014)
2.11     WOC ACUTE PYELONEPHRITIS & CHRONIC PYELONEPHRITIS

PYELONEPHRITIS


Refluks vesikoureter

Membawa urin dan bakteri dari kandung kemih kembali ke ginjal

Kehamilan 

Penekanan pada vesika dan saluran kemih

Penurunan Imunitas


Tubuh rentan terinfeksi bakteri

Bakteri berkembang biak

Penyebab (Bakteri E. Coli) (escherchia coli) (escherchia coli)


Masuk ke uretra


Penyebaran secara assenden


Bakteri resisten


Terjadi Inflamasi


Adanya obstruksi


Terjadi Inflamasi


Kuman menempel dan berkolonisasi


Kuman menetap di dinding saluran kemih


Menekan saraf vagus

Mual, muntah

Nafsu makan turun

MK  : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

MK: kekurangan volume cairan

Demam

aktivasi makrofag

Makrofag menghasilkan pyrogen endogen

Melepaskan prostaglandin di hypothalamus

Peningkatan jumlah prostaglandin

MK : Hipertermi

MK : Nyeri Akut

Reaksi Inflamasi

Iritasi saluran kemih

Ginjal membesar

Gangguan fungsi ginjal

Hematuria, disuria, piuria

MK  : Gangguan eliminasi urin
 






















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1.      Pengkajian
1.1      Identitas
Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis, agama, suku bangsa pasien dan keluarga penanggung jawabnya.
a.        Usia : Wanita memiliki lapisan pelindung terhadap mikroorganisme yang bersifat antimikroba yakni adanya pembentukan mukus dependen estrogen yang membungkus kandung kemih. Proteksi ini menurun pada wanita menopause yang memiliki kadar estrogen yang berangsur-angsur berkurang.
b.        Jenis Kelamin: Faktor risiko lebih tinggi pada anak perempuan dan wanita. Hal ini dikarenakan panjang uretra wanita lebih pendek dari pria sehingga memungkinkan mikroorganisme masuk dan langsung menginvasi saluran kemih. Kebiasaan menahan kencing juga lebih banyak dilakukan oleh anak perempuan dan wanita (terutama wanita hamil dengan relaksasi otot polos oleh progesteron) dan infeksi yang terjadi atau iritasi kulit lubang uretra saat melakukan hubungan seksual membuat risiko mengalami infeksi saluran kemih meningkat.

1.2  Riwayat Kesehatan
a.        Keluhan Utama:  Pada kondisi akut terjadi demam dan mengggigil, nyeri pinggang, nyeri tekan sudut kostovertebral, vomitting, disuria dan sering berkemih.
b.        Riwayat Penyakit Sekarang: Klien datang ke pusat tenaga kesehatan karena adanya gejala akut Pielonefritis.
c.         Riwayat Penyakit Dahulu: Batu ginjal atau batu kandung kemih, Diabetes Mellitus, disfungsi neuropati kandung kemih, ISK (Infeksi Saluran Kemih) sebelumnya, stasis, refluks, striktur, retensi, neurogenic bladder, kehamilan, BPH, PMS, kanker kandung kemih.
d.        Riwayat Pengobatan : Penggunaan antibiotik, antikolinergik, dan antispasmodic
e.         Riwayat Pembedahan : Katerisasi, sistiskopi, pembedahan.
f.         Riwayat Penyakit Keluarga : Batu ginjal atau batu kandung kemih, diabetes mellitus.

2.      Pemeriksaan Fisik
1)      B1 (Pernafasan)
Pada pemeriksaan sistem pernafasan biasanya tidak ditemukan adanya masalah keperawatan.
2)      B2 (Kardiovaskuler)
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskuler biasanya pasien mengalami hipertermi saat akut dan pada pielonefritis kronis biasanya pasien sakit kepala dan timbul hipertensi.
3)      B3 (Persyarafan)
Pada pemeriksaan sistem persyarafan biasanya pasien mengalami penurunan Hb yang berakibat pada konjungtiva yang anemis pada pielonefritis kronis, dan pada pielonefritis akut biasanya pasien masih tampak kompos mentis.
4)      B4 (Perkemihan)
Pada pemeriksaan sistem perkemihan biasanya didapatkan permasalahan disuria, frekuensi, dan urgensi, piuria  pada pielonefritis akut. Serta adanya nyeri pinggang, nyeri tekan kostovertebral. Pada pielonefritis kronis pasien sering poliuria yang menandakan adanya gagal ginjal.
5)      B5 (Pencernaan)
Pada pemeriksaan sistem pencernaan pasien biasanya mual dan muntah, turgor kulit buruk dan anoreksia pada pielonefritis akut. Sedangakan pada pielonefritis kronis nafsu makan menurun, adanya penurunan BB, dan haus yang berlebihan.
6)      B6 (Muskuloskeletal dan Integumen)
Pada pemeriksaan sistem muskuloskeletal pasien terhihat pucat serta sering mengalami kelelahan/ keletihan saat beraktivitas khususnya pada pielomanefritis kronis.

3.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pielografi antegrad dan retrograde
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat potensi ureter, bersifat invasive dan mengandung factor resiko yang cukup tinggi. Sistokopi perlu dilakukan pada refluks vesikoureteral dan pada infeksi saluran kemih berulang untuk mencari factor predisposisi infeksi saluran kemih.
b.      CT-scan
Pemeriksaan ini paling sensitif untuk menilai adanya infeksi pada parenkim ginjal, termasuk mikroabses ginjal. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menunjukkan adanya infeksi pada penyakit ginjal.
c.       DMSA scanning
Penilaian kerusakan korteks ginjal akibat infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan skintigrafi yang menggunakan (99mTc) dimercaptosuccinicacid (DMSA). Pemeriksaan ini terutama digunakan untuk anak – anak dengan infeksi saluran kemih akut dan biasanya ditunjang dengan sistoureterografi saat berkemih. Pemeriksaan ini 10 kali lebih sensitif untuk deteksi infeksi korteks ginjal dibanding ultrasonografi.
d.      Pielografi intravena (PIV)
Memberikan gambaran fungsi eksresi ginjal, keadaan ureter, dan distorsi system pelviokalises. Untuk penderita: pria (anak dan bayi setelah episode infeksi saluran kemih yang pertama dialami).

4.      Diagnosis Keperawatan
1)        Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi dan infeksi pada sistem urinaria.
2)        Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan atau infeksi
3)        Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan laju metabolik (demam) dan pengeluaran cairan yang berlebih (poliuri)


5.        Intervensi
1)      Diagnosa 1          : Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi dan infeksi pada sistem urinaria  (00134)
NOC
NIC
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2X24 jam pasien tidak mengalami nyeri
NOC:
Domain 5 kelas V
Pain Level (2102)
a.    Ekspresi wajah mengenai nyeri (5)
b.    Agitasi (5)
c.    Merintih dan menangis (5)
d.   Iritabilitas (5)
e.    Fokus sempit (5)
f.     Kehilangan nafsu makan (5)
Keterangan :
Skor 1 : berat
Skor 2 : di bawah standart
Skor 3 : sedang
Skor 4 : ringan
Skor 5 : tidak ada
Pain Management (1400)
1.      Gali pengetahuan dan keyakinan pasien tentang nyeri
2.      Dukung klien dan keluarga untuk menyediakan dukungan
3.      Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
4.      Kurangi faktor prespitasi nyeri
5.      Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
6.      Ajarkan prinsip manajemen nyeri
7.      Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mereduksi nyeri (distraksi, relaksasi)
8.      Kolaborasi analgesik
9.      Tingkatkan istirahat




2.      Diagnosa 2     : Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan atau infeksi. (00007)
NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pengaturan suhu tubuh pasien normal.
Domain Physiologic Health (11),
Kelas Metabolic Regulatin (1)
Thermoregulation (0800)
a.       Penurunan temperatur kulit
b.      Sakit kepala
c.       Iritabilitas
d.      Dehidrasi
e.       RR
f.       Nadi
g.      Melaporkan kenyamanan suhu tubuh
Hyperthermia Treatment (3786)
1.      Monitor TTV
2.      Istirahatkan pasien dari aktivitas fisik
3.      Menjauhkan pasien dari sumber panas
4.      Berikan pasien baju yang tipis
5.      Menggunakan metode penghilang panas dari luar (kompres pasien di leher, dada, ketiak, lipatan paha)
6.      Tingkatkan hidrasi oral
7.      Monitor hasil laboratorium
8.      Monitor urin output

3.    Diagnosa 3: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan laju metabolik (demam) dan pengeluaran cairan yang berlebih (poliuri)
NOC
NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak terjadi gangguan kekurangan volume cairan, dengan kriteria hasil:
Domain II, kelas K
Nutritional status (1004)
a.       Fluid intake
b.      Intake nutrisi
c.       Intake makanan
d.      Intake cairan
e.       Energi
f.       IMT
g.      Hidrasi
jF  Fluid management (4120)
1.      Kaji dan dokumentasikan turgor kulit, kondisi membran mukosa, TTV.
2.      Timbang BB setiap hari dengan menggunakan alat yang sama
3.      Catat intake dan output secara adekuat
4.      Jika klien mampu, anjurkan untuk mengonsumsi cairan peroral dengan perlahan, dan tingkatkan jumlah cairan sesuai order
5.      Tes urine terhadap aseton, albumin, dan glukosa
6.      Monitoring status nutrisi
7.      Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian cairan intravena sesuai order yang terdiri dari elektrolit, glukosa, dan vitamin.

6.    Evaluasi
a.         Klien tidak merasakan nyeri saat berkemih
b.         Klien mengalami penurunan suhu tubuh
c.         Mempertahankanan hidrasi yang adekuat dengan kriteria TTV normal, intake cairan dan output urin seimbang





BAB IV
PENUTUP
4.1     Kesimpulan
Pielonefritis adalah peradangan pada jaringan ginjal dan pelvis ginjal. Pielonefritis dapat bersifat akut atau kronis dan sering disertai dengan sistitis. Pielonefritis akut ditandai dengan nyeri pinggang, demam, menggigil, dan vomitting dengan tatalaksana pemberian makanan cairan tawar dan monitoring kartu balans cairan juga kemoterapi bisa dianjurkan. Sedangkan untuk pielonefritis kronis muncul bersama dengan hipertensi yang dapat berakibat pada kegagalan ginjal (Pearce 2005). Pielonefritis kronis dapat membentuk jaringan parut dan obstruksi tubulus yang luas sehingga berkurangnya kemampuan ginjal untuk memekatkan urin (Corwin 2009).
Penyakit ini dibagi menjadi 2 tipe yaitu ; pielonefritis akut dan kronis. Pada pielonefritis juga akan menyebabkan penyakit lain seperti  ; Nekrosis papila ginjal, Fionefrosis, Abses perinefrik (Underwood 2002). Sedangkan pada pielonefritis kronis akan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (mulai dari hilangnya progresifitas nefron akibat inflamasi kronik dan jaringan parut), hipertensi, dan pembentukan batu ginjal (akibat infeksi kronik disertai organisme pengurai urea, yang mangakibatkan terbentuknya batu) (Brunner & Suddarth 2002).
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah nyeri akut  berhubungan dengan proses infeksi pada parenkim ginjal, hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah

4.2     Saran
4.2.1 Masyarakat
Diharapkan masyarakat menggunakan makalah ini sebagai referensi untuk mencegah atau mengobati penyakit pielonefritis akut dan kronis.
4.2.2 Petugas Kesehatan 
Diharapkan petugas kesehatan menggunakan makalah ini sebagai referensi dalam melaksanakan tugas dan menggunakan makalah ini untuk mengatasi atau merawat pasien dengan pielonefritis akut maupun kronis.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. 2000. Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Fisher DJ et al. 2014. Pediatric Urinary Tract Infection Treatment & Management. Emedicine. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/969643-treatment#aw2aab6b6b6
Fulop, T et al. 2014. Acute Pyelonephritis. Emedicine. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/245559-overview#aw2aab6b2b6
Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Johansen TEB, Botto H, Lobel B (ed). 2004. European Association of Urology : Guidelines on Urinary and Male Genital TractInfections.
Pardede SO et al. 2011.Infeksi Saluran Kemih. Dalam buku : Konsensus Infeksi Saluran Kemih pada Anak IDAI. Jakarta: IDAI.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Rusdidjas, Rmayanti R. 2002.Infeksi Saluran Kemih. Dalam : Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Sherwood, Lauralee. 2004. Human Physiology: from Cells to System. Belmont: Thomson Learning Inc.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC
Sukandar E. 2007. Infeksi Saluran Kemih pada Pasien Dewasa dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Underwood, J. C. E . 2002. Patologi Umum & Sistematik. Jakarta; EGC.
Woodley, dan Whelan. 1992. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta: Penerbit Essentia Medica dan Andi Offset.
NANDA. 2011. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. 2009-2011. Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar