MAKALAH
KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
UPPER
URINARY TRACT INFECTIONS : ACUTE PYELONEPHRITIS DAN CRONIC PYELONEPHRITIS
Fasilitator:
Herdina
M., S.Kep., Ns, M.Kep
Disusun
oleh :
Kelompok
5
Kelas A1
1. Irma Farikha 131311133004
2. Siti Nur’aini 131311133010
3. Febyana Dwi Cahyanti 131311133051
4. Sinta Pradikta 131311133069
5. Nina Agustina 131311133078
6. Asiadi 131311133111
7. Nian Zihrul Hidayat’ E 131311133114
FAKULTAS
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS
AIRLANGGA
SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan infeksi saluran
perkemihan Upper Urinary
Tract Infection : Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis.”
Adapun pembuatan makalah ini
dilakukan sebagai pemenuhan nilai tugas dari mata kuliah Keperawatan
Perkemihan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan
terima kasih kepada:
- Herdina
M., S.Kep., Ns. selaku fasilitator kelompok 5 kelas A-1 Keperawatan Perkemihan, dan
- Semua
pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu..
Penulis berharap
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Akan
tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Segala
kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.
Surabaya, Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ............................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................
5
1.3 Tujuan..............................................................................................................
6
1.4 Manfaat...........................................................................................................
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
dan Fisiologi.....................................................................................
8
2.2 Definsi ............................................................................................................ 11
2.3 Etiologi ........................................................................................................... 13
2.4 Patofisiologi ................................................................................................... 15
2.5 Manifestasi klinis ........................................................................................... 16
2.6 Pemeriksaan diagnostic .................................................................................. 18
2.7 Penatalaksanaan ............................................................................................. 21
2.8 Komplikasi ..................................................................................................... 24
2.9 Prognosis.........................................................................................................
25
2.10 Pencegahan .................................................................................................. 25
2.11 WOC ............................................................................................................ 26
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
..................................................................................................... 27
2.2 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................
28
2.3 Pemeriksaan Diagnostik.................................................................................
29
2.4 Diagnosa.........................................................................................................
29
2.5 Intervensi........................................................................................................
30
2.6 Evaluasi..........................................................................................................
32
BAB 4
PENUTUP
4.1
Kesimpulan..................................................................................................... 33
4.2
Saran .............................................................................................................. 33
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................
34
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi saluran kemih
diartikan sebagai infeksi yang terjadi di saluran kemih, baik dari ginjal
sampai uretra. Infeksi ini bisa terjadi akibat adanya mikroorganisme seperti
bakteri, jamur, maupun virus atau terjadi akibat adanya proliferasi dalam
saluran kemih (Corwin 2009).
Penyebab tersering pada
infeksi saluran kemih adalah bakteri Escherichia
coli dan organisme lain (seperti Proteus,
Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas) biasanya berhubungan dengan abnormalitas struktural
atau kateterisasi dan reinfeksi (Rubeinstein et al 2005). Faktor risiko lain adalah anak perempuan dan wanita.
Hal ini dikarenakan panjang uretra wanita lebih pendek dari pria sehingga
memungkinkan mikroorganisme masuk dan langsung menginvasi saluran kemih.
Kebiasaan menahan kencing juga lebih banyak dilakukan oleh anak perempuan dan
wanita (terutama wanita hamil dengan relaksasi otot polos oleh progesteron) dan
infeksi yang terjadi atau iritasi kulit lubang uretra saat melakukan hubungan seksual
membuat risiko mengalami infeksi saluran kemih meningkat. Jika pada pria,
penyebab terseing mengalami infeksi saluran kemih adalah BPH atau prostatitis
(Corwin 2009).
Akan tetapi, wanita memiliki
lapisan pelindung terhadap mikroorganisme yang bersifat antimikroba yakni
adanya pembentukan mukus dependen estrogen yang memungkus kandung kemih.
Proteksi ini menurun pada wanita menopause yang memiliki kadar estrogen yang
berangsur-angsur berkurang. Pada dasarnya pada wanita dan pria faktor protektif
internal terbentuk karena sifat urin yang asam yang berfungsi sebagai
antibakteria (Corwin 2009).
Pada wanita, kejadian
pielonefritis bertambah 3-4 kasus per 10.000 populasi setiap tahunnya dan pada
pria bertambah 1-2 kasus per 10.000 populasi per tahun dengan insidensi wanita
berusia muda adalah terbanyak diikuti oleh infant dan lansia. Penyebab dengan Escherichia coli sebanyak 80% pada
wanita dan 70% pada pria dan menurun pada usia lanjut. (Czaja et al 2007)
Infeksi saluran kemih
dibedakan menjadi dua berdasarkan letak infeksi yakni Infeksi saluran kemih
bagian atas dan Infeksi saluran kemih bagian bawah. Untuk Infeksi saluran kemih
bagian atas memilike manifestasi klinis seperti demam (>390C), kekakuan, malaise, anoreksia, nyeri pinggang,
disuria, frequency, urgency dengan faktor predisposisi batu, refluks,
obstruksi, dan kelainan neurogenik kandung kemih. Infeksi saluran kemih bagian
atas ini menyebabkan pielonefritis (Davey 2003).
Pielonefritis adalah
peradangan pada jaringan ginjal dan pelvis ginjal. Pielonefritis dapat bersifat
akut atau kronis dan sering disertai dengan sistitis. Pielonefritis akut
ditandai dengan nyeri pinggang, demam, menggigil, dan vomitting dengan tatalaksana pemberian makanan cairan tawar dan
monitoring kartu balans cairan juga kemoterapi bisa dianjurkan. Sedangkan untuk
pielonefritis kronis muncul bersama dengan hipertensi yang dapat berakibat pada
kegagalan ginjal (Pearce 2005). Pielonefritis kronis dapat membentuk jaringan
parut dan obstruksi tubulus yang luas sehingga berkurangnya kemampuan ginjal
untuk memekatkan urin (Corwin 2009).
Pielonefritis pada ginjal
yang mengalami obstruksi adalah tindakan emergency
untuk mencegah kehilangan substansi ginjal yang irreversible. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan
mikroskopik urin dan kultur urin yang menunjukkan piuria (leukosit >100.000
sel/mL, bakteriuria, disertai hemeturia mikroskopik bahkan makroskopik.) (Davey
2003). Jika penyebabnya adalah TBC maka akan ditemukan piuria steril
(Rubenstein et al 2005).
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah definisi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
2.
Bagaimana klasifikasi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
3.
Bagaimana
etiologi
dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
4.
Bagaimana patofisiologi dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
5.
Bagaimana manifestasi klinis dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
6.
Apa saja pemeriksaan diagnostik dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
7.
Bagaimana penatalaksanaan dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
8.
Apa saja komplikasi dari Acute
Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
9.
Apa saja prognosis dari Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
10.
Bagaimana asuhan keperawatan untuk Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis?
1.3
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah
ini agar mahasiswa mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Upper Urinary
Tract Infection (Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis).
2.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan
makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat
melaksanakan :
1.
Mengetahui definisi Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
2.
Mengetahui penyebab Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
3.
Mengetahui patofisiologi Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
4.
Mengetahui manifestasi klinis Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
5.
Mengetahui
pemeriksaan diagnostik Acute
Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
6.
Mengetahui penatalaksanaan dari Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
7.
Mengetahui komplikasi Acute
Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
8.
Mengetahui prognosis Acute
Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
9.
Mengetahui pencegahan Acute
Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
10. Mengetahui
WOC Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
11.
Mengetahui asuhan keperawatan pada Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
1.4
Manfaat
1.
Mahasiswa dapat menjelaskan definisi Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
2.
Mahasiswa dapat menjelaskan penyebab dari Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
3.
Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi dari Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
4.
Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
5.
Mahasiswa dapat menegakkan asuhan keperawatan
pada pasien Acute Pyelonephritis &
Chronic Pyelonephritis
6.
Mahasiswa dapat mengetahui,
mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
7.
Mahasiswa dapat mengetahui,
mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan diagnosa keperawatan
pada pasien dengan Acute
Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
8.
Mahasiswa dapat mengetahui,
mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien dengan Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
9.
Mahasiswa dapat mengetahui,
mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien dengan Acute Pyelonephritis & Chronic
Pyelonephritis
10. Mahasiswa dapat mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan evaluasi keperawatan pada pasien
dengan Acute Pyelonephritis & Chronic Pyelonephritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi Ginjal
Gambar
1. Anatomi Ginjal, Adrenal Gland dan Sistem Pembuluh Darah.
Ginjal terletak di
ruang retroperitoneal antara vetebra torakal dua belas atau lumbal satu dan
lumbal empat. Panjang dan beratnya bervariasi ± 6 cm dan 24 gram pada bayi
lahir cukup bulan, sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram pada orang dewasa.
Pada bayi baru lahir ginjal sering dapat diraba. Pada janin permukaan ginjal
tidak rata, berlobus-lobus yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya
umur. Tiap ginjal terdiri atas 8-12 lobus berbentuk piramid. Ginjal memiliki
lapisan luar, yaitu korteks yang mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan
distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens, serta lapisan dalam yaitu
medula, yang mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta dan
duktus koligens terminal (Rusdidjas,2002).
Gambar 2. Struktur anatomi ginjal pada ginjal kanan
dan posisi ginjal pada CT scan.
Puncak
piramid medula menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan ujung
kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada duktus pipalaris Bellini
yang ujungnya bermuara di papil ginjal
dan mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Karena ada 18-24 lubang muara
duktus Bellini pada ujung papil maka daerah tersebut terlihat sebagai tapisan beras
dan disebut area kribrosa (Rusdidjas,2002).
Antara dua piramid terdapat jaringan korteks tempat
masuknya cabang-cabang arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks
minor membentuk kaliks mayor yang bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal dan
kemudian bermuara ke dalam ureter. Ureter kanan dan kiri bermuara di vesika
urinaria. Urin dikeluarkan dari vesika urinaria melalui uretra (Rusdidjas,2002).
Tiap ginjal menerima kira-kira 25 persen isi sekuncup
jantung. Bila diperbandingkan dengan berat organ ginjal hal ini merupakan
suplai darah terbesar di dalam tubuh manusia. Suplai darah pada setiap ginjal
biasanya berasal dari arteri renalis yang keluar dari aorta, arteri renalis
bercabang-cabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan melewati medula
menuju ke batas antara korteks dan medula. Disini, arteri interlobaris becabang
membentuk arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan permukaan ginjal. Arteri
interlobaris bersaal dari arteri akuata dan bercabang menjadi arteriol aferen
glomerulus. Sel-sel otot khusus di dinding arteriol aferen, dengan sel alcis
seta bagian dari tubulus distal yang berdekatan dengan glomerulus (makula
densa), membentuk aparat jukstaglomerular yang mengendalikan sekresi renin.
Arterio aferen bercabang-cabang menjadi jalinan kapiler glomerulus yang
kemudian bergabung lagi menjadi arteriol eferen (Rusdidjas,2002).
Tiap ginjal mengandung 1 juta nefron
(glomerulus dan tubulus yang berhubungan dengannya). Nefron baru tidak dibentuk
lagi setelah lahir. Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada janin 35
minggu. Perkembangan paling cepat terjadi pada 5 tahun pertama setelah lahir.
Tiap nefron terdiri atas glomerulus dan kapsula Bowman, tubulus proksimal, asa
Henle dan tubulus distal. Glomerulus bersama kapsula Bowman juga disebut badan
Malphigi. Fungsi ginjal normal terdiri atas 3 komponen yang saling berhubungan,
yaitu : ultrafiltrasi glomerulus; reabsorpsi tubulus terhadap solut dan air;
sekresi tubulus terhadap zat-zat organik dan non organik (Rusdidjas,2002).
2.1.2 Fisiologi
Menurut Rusdidjas,2002 Fungsi ginjal secara keseluruhan dibagi menjadi 2, yaitu
:
1.
Fungsi Eksresi
a.
Eksresi sisa metabolit protein
Sisa
metabolit protein yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik dan asam urat
dikeluarkan melalui ginjal.
b.
Regulasi cairan tubuh
Bila
tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui arteri karotis interna
ke osmoreseptor di hipotalamus anterior. Rangsangan tersebut diteruskan ke
kelenjar hipofisis posterior sehingga produksi hormon anti-diuretik (ADH)
dikurangi dan akibatnya diuresis menjadi banyak. Sebaliknya, bila tubuh kekurangan cairan,
maka produksi ADH akan bertambah sehingga produksi urin berkurang karena
penyerapan air di tubulus distal dan duktus koligens bertambah.
c.
Menjaga keseimbangan asam basa
Keseimbangan
asam basa tubuh diatur oleh pari dan ginjal. Paru menjaga jumlah H2CO3
plasma (N = 1,15 -1,35 mEq/l) dengan mengatur kadar pCO2 dan
ginjal menjaga konsentrasi NaHCO3 (N = 25-27 mEq/l) dengan cara
menyerap NaHCO3 dan mensekresi H+.
2.
Fungsi Endokrin
a.
Eritropoesis
Pembentukan
sel darah merah diperlukan zat eritropetin. Eritropoetin dirubah dari
proeritropoetin yang mungkin dibuat dalam hati oleh zat yang diproduksi ginjal
yang disebut faktor eritropoetik gijal (kidney
eritropoetic factor).
b.
Pengaturan tekanan darah
Ginjal
menghasilkan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah. Bila
terjadi iskemia ginjal maka granula renin akan dilepaskan dari aparta
jukstaglomerular. Renin akan merubah angiotensin di dalam darah menjadi
Angiotensin I, kemudian dirubah menjadi Angiotenin II oleh enzim konvartase di
paru. Angitensin II mempunyai efek yaitu mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh
darah perifer dan merangsang korteks adrenal untuk memproduksi aldosteron.
Aldosteron bersifat meretensi air dan natrium sehingga akibatnya volume darah
bertambah.
c.
Keseimbangan kalsium
Ginjal juga mempengaruhi
metabolisme kalsium, khususnya penyerapan kalsium, dengan mengkonversi
prekursor vitamin D menjadi bentuk yang paling aktif, 1,25-dihydroxyvitamin D.
2.2 Definisi
Pyelonephritis Umum
Pyelonephritis
merupakan infeksi bakteri pada ginjal, tumulus dan jaringan interstinal dari
salah satu atau kedua ginjal (Brunner & Suddarth, 2002).
Infeksi saluran kencing bagian atas (pyelonephritis) adalah infeksi perenchym
ginjal. Keluhan-keluhan yang menyebabkan penderita datang berkonsultasi adalah
demam dan nyeri pinggang, simptom-simptom infeksi saluran kencing bagian bawah.
Contoh; urin
khas menunjukkan bakteriuria yang bermakna, pyuria dan kadang-kadang silinder
leucocyt. Infeksi saluran urogenital di tampat-tampat lain (misalnya
epididymis, prostat, daerah perinephric) sering berkaitan dengan bakteri yang
jumlahnya kurang dari 1000/ml dan mempunyai menifestasi klinis yang berbeda
(Woodley dan Whenlan, 1992).
Pielonefritis dibagi
menjadi dua macam yaitu :
1.
Pielonefritis akut
2.
Pyelonefritis kronis
2.2.1
Acute Pyelonephritis
Acute Pyelonephritis merupakan reaksi
inflamasi atau peradangan supurative pada
parenkim dan pelvis ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Pielonefrtis
akut biasanya merupakan lanjutan dari Sistitis akut secara ascenden.
Biasanya kuman berasal dari saluran kemih bagian bawah naik ke
ginjal melalui ureter. Kuman - kuman itu antara lain adalah E Colli, Proteus,
Klebsiella, Strep faecalis dan enterokokus. Kuman Stafilokokus aureus dapat menyebabkan pielonefritis melalui
penularan secara hematogen, meskipun sekarang jarang dijumpa
Acute Pyelonephritis seringkali disertai demam,
rasa dingin, pedih pada bagian yang sakit, sering buang air kecil, dan sensasi
seperti terbakar saat buang air kecil. Pada infeksi ginjal akut, leukositosis, neutrofilia, dan
kenaikan laju endap darah serta protein C-reaktif biasa terjadi. Pyelonephritis akut dapat mempengaruhi
sementara fungsi ginjal.
2.2.2 Chronic Pyelonephritis
Pyelonephritis kronis terjadi secara bertahap, biasanya tanpa
gejala dan penyakit ini dapat mengarah pada kerusakan ginjal dan uremia.
Penyakit ini lebih umum dijumpai pada wanita dibanding pada laki-laki dan
sering terjadi pada penderita diabetes. (Media Indonesia, 2006).
Pielonefritis Kronis adalah lanjutan dari pielonefritis akut muncul
bersama dengan hipertensi yang dapat berakibat pada kegagalan ginjal (Pearce
2005).
Pielonefritis kronik dapat merusak jaringan ginjal secara permanen
karena inflamasi yang berulang dan terbentuknya jaringan parut yang meluas.
Proses berkembangnya gagal ginjal kronik dari infeksi ginjal yang berulang
berlangsung selama beberapa tahun.
Pyelonefritis
kronis mungkin memperlihatkan gambaran mirip dengan pyelonephritis akut, tetapi
juga dapat menimbulkan hipertensi dan akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal.
(Elizabeth J. Corwin, 2008).
Pielonefritis kronis dapat membentuk jaringan parut dan obstruksi
tubulus yang luas sehingga berkurangnya kemampuan ginjal untuk memekatkan urin
(Corwin 2009)
2.3 Etiologi
Penyebab terbanyak ISK, baik pada yang simtomatik maupun
yang asimtomatik, termasuk pada neonatus adalah Escherichia coli (70-80%). Penyebab yang lainnya seperti: Klebsiella, Proteus, Staphylococcus
saphrophyticus, coagulase-negative staphylococcus, Pseudomonas aeroginosa,
Streptococcus fecalis dan Streptococcus agalactiiae, jarang ditemukan (Rusdidjas,2002).
Tabel 1 Bakteri penyebab ISK (Fulop T et al,2014).
Menurut
Grace,2006 faktor risiko infeksi saluran kemih (ISK) :
1. Obstruksi
saluran kemih
2. Pemasangan
instrument pada saluran kemih (misalnya kateter)
3. Disfungsi
kandung kemih (neuropatik)
4. Imunosupresi
5. Diabetes
melitus
6. Kelainan
structural (misalnya refluks vesikoureter)
7. Kehamilan
2.3.1 Acute Pyelonephritis
Pielonefritis akut pada
umumnya disebabkan oleh bakteri asendent dari saluran kemih bagian bawah dan
ada juga yang melalui peredaran darah atau hematogen. Penyebab lainya
diantaranya: (Grace, Broley , 2007)
a. Bakteri
(escherchia coli)
b. Obstruksi
urinari track, misalnya batu ginjal atau
pembesaran prostat.
c. Refluks
vesikoureter, yang
mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih kembali ke ureter
d. Kehamilan
e. Penurunan
Imunitas
2.3.2
Chronic
Pyelonephritis
Pielonefritis kronis umumnya terjadi akibat
infeksi ginjal berulang oleh bakteri enteric. Penyebab pielonefritis kronis
adalah: (Grace, Broley , 2007)
a. Faktor utama
:
-
Obstruksi saluran kemih
-
Frekuensi (pielonefritis akut yang
terus-menerus), Infeksi bakteri ginjal akut.
b. Faktor
pendorong :
-
Bakteri (escherchia coli)
-
Batu saluran kemih
-
Refluks vesikoureter
-
Diabetes mellitus
-
Disfungsi neurogenik bladder
-
Infeksi saluran kemih bagian bawah
2.4 Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran
kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti Eschericia coli, Streptococus
fecalis, Pseudomonas
aeruginosa, dan Staphilococus aureus adalah bakteri
paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut. E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Organisme
juga dapat sampai ke ginjal melalui aliran darah atau aliran getah bening,
tetapi cara ini jarang sekali terjadi (Naber, 2004).
Obstruksi
aliran kemih dan refluks vesikoureter dapat menjadi faktor predisposisi dalam
perkembangan infeksi saluran kemih. Obstruksi
saluran kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis
ginjal dan ureter. Hal tersebut dapat mengakibatkan atrofi pada parenkim
ginjal, di samping itu obstruksi yang terjadi di
bawah kandung kemih sering disertai refluks vesikoureter dan infeksi pada
ginjal. Aliran balik (refluks) dari kemih yang terinfeksi memasuki parenkim
ginjal mengakibatkan terjadinya jaringan parut ginjal (Price, 2013).
Infeksi bakteri dari saluran kemih bagian bawah ke arah
ginjal, hal ini akan mempengaruhi fungsi ginjal. Abses
dapat di jumpai pada kapsul ginjal dan pada taut kortikomedularis. Pada
akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta glomerulus terjadi. Kerusakan pada ginjal akan menyebabkan
meregangnya kapsul ginjal (dipersarafi medulla spinalis segmen Thorakal 11
sampai Lumbal 2) yang menimbulkan rasa nyeri disekitar bagian pinggang atau flank pain (Snell, 2006).
Demam terjadi diawali oleh adanya
infeksi atau invasi mikroorganisme (misalnya bakteri atau virus) ke dalam tubuh
hingga ke sistema peredaran darah. Keberadaan mikroorganisme dalam tubuh memacu
aktivasi makrofag yang merupakan usaha pertahanan tubuh terhadap masuknya benda
asing. Makrofag kemudian menghasilkan suatu zat kimia, pyrogen endogen, yang
nantinya akan melepaskan prostaglandin di hypothalamus. Peningkatan jumlah
prostaglandin ini mengubah set point suhu normal tubuh yang diatur oleh
hypothalamus sebagai thermoregulator menjadi lebih tinggi daripada normal
(Sherwood, 2004).
PYELONEPHRITIS
|
Refluks
vesikoureter
|
Membawa
urin dan bakteri dari kandung kemih kembali ke ginjal
|
Kehamilan
|
Penekanan
pada vesika dan saluran kemih
|
Penurunan
Imunitas
|
Tubuh
rentan terinfeksi bakteri
|
Bakteri
berkembang biak
|
Penyebab (Bakteri E. Coli) (escherchia coli) (escherchia
coli)
|
Masuk ke uretra
|
Penyebaran secara
assenden
|
Bakteri resisten
|
Terjadi Inflamasi
|
Adanya obstruksi
|
Terjadi Inflamasi
|
Kuman menempel
dan berkolonisasi
|
Kuman menetap di
dinding saluran kemih
|
2.5 Manifestasi Klinis
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi
disertai menggigil, gejala saluran
cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri pinggang.
Gejala neurologis dapat berupa iritabel
dan kejang. Pada bayi baru lahir
manifestasi klinis hanya muncul gejala yang tidak spesifik seperti penurunan
nafsu makan, anak menjadi rewel, ikterik, dan penurunan berat badan (Pardede,2011).
2.5.1 Manifestasi
Acute Pyelonephritis
Manifestasi
pielonifritis akut antara lain:
1.
Demam
(39,5 – 40,5) disertai gejala menggigil, sakit pinggang. Manifestasi ini sering didahului
gejala-gejala ISK bawah (Sistitis)
antara lain sakit suprapubik, polaksiuria, nokturia, disuria, straguria
(Sukandar,2007).
2.
Terjadi
kekauan
3.
Mual dan Muntah
4.
Anoreksia
5.
Nyeri
pinggang
6.
Disuria
7.
Pyuria
8.
Leukositosis
9.
Bakteriuria
10. Hematuria mikroskopik
11. Tes kultur dan sensivitas >100.000 organisme per ml
2.5.2
Manifestasi Chronic
Pyelonephritis
Terjadi akibat infeksi yang berulang-ulang,
sehingga kedua ginjal perlahan-lahan menjadi rusak. Tanda dan gejala:
a.
Adanya serangan pielonefritis akut yang
berulang-ulang biasanya tidak mempunyai gejala yang spesifik.
b.
Adanya keletihan.
c.
Sakit kepala, nafsu makan rendah dan BB
menurun.
d.
Adanya poliuria, haus yang berlebihan,
azotemia, anemia, asidosis, proteinuria, pyuria dan kepekatan urin menurun.
e.
Kesehatan pasien semakin menurun, pada akhirnya
pasien mengalami gagal ginjal.
f.
Ginjal mengecil dan kemampuan nefron menurun
ditunjukan dengan penurunan GFR.
g.
Tiba-tiba ketika di temukan adanya hipertensi.
Manifestasi lain menurut Baughman,Diane C.2000.:
a.
Bisanya tidak menunjukkan gejala infeksi
kecuali terjadi eksaserbasi akut.
b.
Keletihan,sakit kepala, dan nafsu makan
menurun.
c.
Poliuria,haus berlebihan,dan penurunan berat
badan
d.
Infeksi menetap dan kekambuhan dapat
menyebabkan pembentukan jaringan parut pada ginjal secara progresif.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
2.6.1
Pemeriksaan
Penunjang menurut (Mark A. Graber, 2006)
:
1.
Pemeriksaan
Laboratorium
·
Urinalisis
Leukosuria
atau piuria : merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria
positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment
air kemih
Hematuria
: hematuria- positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih.
Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan
glomerulus ataupun urolitiasis.
·
Laboratorium
pielonefritis akut
a.
Leukositosis, BSR meningkat
b.
Urin : keruh, piuria, bakteriuria, proteinuria
kadang-kadang hematuria.
c.
Fungsi ginjal : normal
d.
Biakan
air kemih ditampung dengan pungsi buli-buli suprapubik : setiap kuman patogen
yang tumbuh pasti infeksi. Pembiakan urin melalui pungsi suprapubik digunakan
sebagai gold standar
·
Laboratorium
pielonefritis kronis
a. Lekositosis
dapat mencapai 40.000 per mm3, neutrofilia, laju endapan darah tinggi.
b. Urin :
keruh, proteinuria 1-3 gram per hari, penuh dengan pus dan kuman, kadang-kadang
ditemukan eritrosit.
c. Biakan
urin selalu ditemukan bakteriuria patogen bermakna dengan CFU per ml > 105.
d. Faal
ginjal (LFG) masih normal, berat jenis urin dan uji fungsi tubulus lainnya
terganggu terutama bila disertai septikemia.
2.
Pemeriksaan
foto radiologi
·
Pielonefritis
akut
Pada pemeriksaan foto polos ginjal, ginjal akan tampak membengkak
pada fase akut akibat dari proses inflamasi jaringan. Foto polos perut mungkin
sudah dapat memperlihatkan beberapa kelainan seperti obliterasi bayangan ginjal
karena sembab jaringan,perinephritic fat dan perkapuran. Pemeriksaan ekskresi urogram
sangat penting untuk mengetahui adanya obstruksi.
(a) (b)
Gambar foto polos abdomen:
(a) normal (b) pielonefritis akut
·
Pielonefritis
kronis
Pada pielonefritis kronis, jika dilakukan pemeriksaan
radiologi ginjal akan tampak mengecil atau normal. Gambaran urogram (pielogram) akan normal kembali setelah
mendapat pengobatan yang adekuat.
3.
Bakteriologis
a.
Mikroskopis: satu bakteri lapangan pandang >105
cfu/ mL urin plus piuria
b.
Biakan bakteri
c.
Tes kimiawi: tes reduksi griess nitrate berupa
perubahan warna pada uji carik
4.
BUN
Pemeriksaan
ini dikhususkan untuk memeriksa pielonefritis kronis karena pada pasien ini GFR
mengalami penurunan akibat infeksi. Pada pielonefritis kadar BUN akan meningkat
5.
Creatinin
Pemeriksaan ini dikhususkan
untuk memeriksa pielonefritis kronis karena pada pasien ini GFR mengalami
penurunan akibat infeksi. Kadar kreatinin meningkat pada pasien dengan
pielonefritis.
Indikasi untuk studi
pencitraan adalah sebagai berikut:
a. Demam
atau positif hasil kultur darah yang bertahan selama lebih dari 48 jam
b. Memburuknya
tiba-tiba kondisi pasien
c. Toksisitas
bertahan selama lebih dari 72 jam
d. Complicated
UTI
e. Pemeriksaan
IVP : Pielogram intravena (IVP) mengidentifikasi perubahan atau abnormalitas
struktur
f. USG dan
Radiologi : USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu ginjal,
kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya
2.7
Tatalaksana
2.7.1 Acute Pyelonephritis
Pada
umumnya pasien pieloefritis akut memerlukan rawat inap untuk menjaga status
hidrasi untuk terapi antibiotika parenteral paling sedikit selama 48 jam. The infection disease society of America
menganjurkan satu dari tiga alternative terapi antibiotika IV sebagai terapi awal
72 jam sebelum diketahui mikroorganismenya sebagai penyebabnya seperti
flourokuinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosfrin
spectrum luas (Sukandar,2007).
Pengobatan
pielonefritis akut, untuk bayi dengan ISK dan untuk anak dengan ISK disertai
gejala sistemik infeksi, setelah sampel urin diambil untuk dibiakkan, diberi
antibiotik parenteral (tanpa menunggu hasil biakan urin) untuk mencegah
terjadinya parut ginjal. Sebaiknya anak dirawat di rumah sakit terutama bula
disertai tanda toksik (Rusdidjas,2002).
Pemberian
antibiotik parenteral diteruskan sampai 3-5 hari atau sampai 48 jam penderita
bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral selama 10-14
hari,disesuaikan dengan hasil biakan urin dan uji sensitivitasnya. Biakan urin
ulang dilakukan setelah 48 jam tidak makan obat untuk melihat hasil pengobatan,
apakah bakteriuria masih ada. Antibiotik profilaksis diberikan sampai dilakukan
VCUG, dan bila ditemukan refluks antibiotik profilaksis diteruskan (Pardede,2011).
Tabel 3.
Dosis
antibiotika parenteral (A), oral (B), dan profilaksis (C)Rusdidjas,2002).
Obat
|
Dosis mg/kgBB/hari
|
Frekuensi/(umur)
|
|
Parentral
|
|||
Amphisilin
|
100
|
@ 12 jam (bayi < 1
minggu)
@ 6-8 jam (bayi > 1
minggu)
|
|
Sefotaksim
|
150
|
@ 6 jam
|
|
Gentamisin
|
5
|
@ 12 jam (bayi < 1
minggu)
@ 8 jam (bayi > 1
minggu)
|
|
Seftriakson
|
75
|
@ 1 x/hari
|
|
Seftazidim
|
150
|
@ 6 jam
|
|
Sefazolin
|
50
|
@ 8 jam
|
|
Tobramisin
|
5
|
@ 8 jam
|
|
Ticarsilin
|
100
|
@ 6 jam
|
|
A.
Oral
Rawat jalan antibiotik
oral
|
|||
Amoksilin
|
20-40
|
@ 8 jam
|
|
Amphisilin
|
50-100
|
@ 6 jam
|
|
Augmentin
|
50
|
@ 8 jam
|
|
Sefaleksim
|
50
|
@ 6-8 jam
|
B.
Profilaksis
|
Sefiksim
|
4
|
@ 12 jam
|
1x
malam hari
|
Nitrofurantoin *
|
6-7
|
@ 6 jam
|
1-2
mg/kgBB
|
Sulfisoksazole *
|
120-150
|
@ 6-8 jam
|
50
mg/kgBB
|
Trimetoprim *
|
6-12
|
@ 6 jam
|
2
mg/kgBB
|
Sulfametoksazole
|
30-60
|
@ 6-8 jam
|
10
mg/kgBB
|
*
Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi
ginjal
|
Menurut
(Mark, 2006), Penatalaksanaan Pielonefritis akut pada laki-laki
maupun perempuan secara umum:
·
Indikasi Rawat Inap
a.
Dilakukan jika pasien seorang anak, bayi, ibu hamil,
menderita demam tinggi, dehidrasi, tampak sakit akut, atau septic serta
monitoring status hemodinamik
b.
Obati secara empiric dengan sefalosporin generasi ke
tiga IV dengan atau tanpa gentamisin, fluorokuinolon IV, gentamisin dan
ampisilin, ampisilin-sulbaktam atau asam tikarsilin-klavulanat sambil menunggu
hasil biayan dan uji kepekaan.
c.
Hindari pemberian gentamisin dan fluorokuinolon pada
pasien hamil.
d.
Obati penyakit ini secara IV selama 48 sampai 72 jm
atau terbantung dari respons klinis.
e.
Lanjutkan antibiotic per oral dan kemudian selesaikan
dengan antibiotic per oral selama 2-6 minggu lagi
f.
Pemberian obat-obatan untuk mengatasi nyeri, demam, dan
mual
g.
Pastikan hidrasi yang mencukupi dan pemeliharaan
keluaran urin yang baik dengan cairan IV atau per oral.
·
Jika pasien tidak sakit akut
a.
Obati sebagai pasien rawat jalan selama 10 hari – 6
minggu dengan TMP/SMX, fluorokuinolon (yaitu siprofoksasin 500 mg PO 2x/hari),
amoksosolin-asam klavulanat, atau sefalosporin. Pilihan yang baik adalah
memberikan 1-2 g seftriakson IV atau IM pada saat penegakkan diagnosis kemudian
pasian dipantau dari hari ke hari.
b.
Jika perlu, dapat diberikan seftriakson dosis tambahan
pada pemeriksaan lanjut jika pasien memerlukan lebih dari antibiotic per oral
tetapi tidak memerlukan perawatan di RS.
·
Jika pasien tidak membaik
a.
Kolaborasi untuk dilakukan kultur ulang
b.
Harus segera dipikirkan adanya batu yang terinfeksi
atau obstruksi dan ditangani dengan efektif
untuk menghindari komplikasi
c.
Pikirkan IVP atau VCUG setelah pemulihan UTI pada semua
anak, pria dan wanita dengan kekambuhan yang sering atau gejala yang tidak
biasa
d.
Apabila pasien tidak berespon pada obat antibiotic dan
organisme diketahui sensitive terhadap antibiotic yang diberikan saat ini, maka
pikirkan emfisematosa atau
pembentukkan abses. Dapat dipastikan dengan pemeriksaan CT-scan
2.7.2
Chronik
Pyelonephritis
Penatalaksanaan pielonefritis kronis
(Baughman, Diane C. 2000):
1.
Hilangkan bacteri dalam urin
a.
Obat antimikrobal berdasarkan identifikasi kultur
b.
Nitrofurantion atau kombinasi sulfamethosazol dan
trimetropin digunakan untuk menekan pertumbuhan bacteri.
2. Dengan
cermat pantau fungsi ginjal
Dengan cermat pantau fungsi ginjal yang
berhubungan dengan penurunan fungsi ekskresi ginjal terhadap preparat
antimicrobial.
3. Jika
tidak ada kontraindikasi berikan cairan
lebih dan atasi penyebab : obstruksi dengan dilakukan pembedahan
4. Jika
tidak respon terhadap antibiotic, lakukan pemeriksaan radiologi
5. Kolaborasi
pembedahan
6. Jika
sudah mengalami kerusakan ginjal yang parah kolaborasi tindakan dialisis
2.8 Komplikasi
2.8.1 Acute Pyelonephritis
Ada tiga
komplikasi penting dapat ditemukan pada pielonefritis akut (J.C.E. Underwood,
2002):
· Nekrosis
papila ginjal
Nekrosis papila ginjal sebagai
hasil dari proses radang, pasokan darah pada area medula akan terganggu dan
akan diikuti nekrosis papila guinjal, terutama pada penderita diabetes melitus
atau pada tempat terjadinya obstruksi.
· Fionefrosis
Fionefrosis terjadi apabila
ditemukan obstruksi total pada ureter yang dekat sekali dengan ginjal. Cairan
yang terlindung dalam pelvis dan sistem kaliks mengalami supurasi, sehingga
ginjal mengalami peregangan akibat adanya pus.
· Abses
perinefrik
Abses perinefrik pada waktu infeksi
mencapai kapsula ginjal, dan meluas ke dalam jaringan perirenal, terjadi abses
perinefrik.
2.8.2 Chronik Pyelonephritis
Komplikasi
pielonefritis kronis mencakup (Baughman, Diane C. 2000)
1.
Penyakit
ginjal tahap akhir (akibat penurunan progresif fungsi nefron sekunder akibat
inflamasi dan pembentukan jaringan parut)
2.
Hipertensi
3.
Pembentukan
batu ginjal (akibat infeksi kronis dengan organisme pemisah urea, mengakibatkan
pembentukkan batu)
2.9 Prognosis
Prognosis
penyakit ini bergantung pada diagnosis dan penatalaksanaan. Pada pielonefritis
tanpa disertai dengan penyulit dan komplikasi pemberian terapi yang adekuat
dapat memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan yang disertai dengan penyulit atau disertai dengan komplikasi (Fulop T et al,2014).
Pielonefritis akut biasanya merespon baik terhadap
terapi antibiotik, dengan sebagian besar pasien menjadi
asimtomatik pada waktunya
2.10 Pencegahan
Tujuan pengobatan
medis pasien yang memiliki pielonefritis tidak untuk mengobati infeksi tetapi juga untuk mengidentifikasi
pasien yang berisiko untuk infeksi berulang dan munculnya jaringan parut
ginjal. The American Academy of
Pediatrics (AAP) merekomendasikan
anak-anak dari usia 2 tahun yang di diagnosis
dengan ISK pertama harus dilakukan evaluasi untuk bukti
kelainan urologi lainnya. Metode evaluasi yang digunakan berupa pemeriksaan
ultrasonografi (USG), AAP
merekomendasikan pemeriksaan ini karena bersifat noninvasive, mudah untuk
menentukan anatomi saluran kemih.
AAP menganggap sunat memiliki manfaat kesehatan
pada anak laki-laki yang baru lahir sebagai pencegahan pada infeksi ISK. Minum banyak air terutama air putih dapat
membantu dalam mengeluarkan bakteri dalam saluran kemih dan teknik membersihkan
kemaluan dari depan ke belakang setelah berkemih
mencegah untuk terjadinya ISK. Dan sebuah
studi penelitian oleh Ferrara et al
menyelidiki efek minum jus cranberry sehari-hari (50 mL) pada anak perempuan
berusia 3-14 tahun dengan ISK berulang dapat sebagai pencegahan gejala ISK berulang
pada anak-anak (Fisher,2014)
2.11 WOC ACUTE PYELONEPHRITIS & CHRONIC
PYELONEPHRITIS
PYELONEPHRITIS
|
Refluks
vesikoureter
|
Membawa
urin dan bakteri dari kandung kemih kembali ke ginjal
|
Kehamilan
|
Penekanan
pada vesika dan saluran kemih
|
Penurunan
Imunitas
|
Tubuh
rentan terinfeksi bakteri
|
Bakteri
berkembang biak
|
Penyebab (Bakteri E. Coli) (escherchia coli)
(escherchia coli)
|
Masuk ke uretra
|
Penyebaran
secara assenden
|
Bakteri
resisten
|
Terjadi
Inflamasi
|
Adanya
obstruksi
|
Terjadi
Inflamasi
|
Kuman menempel
dan berkolonisasi
|
Kuman menetap
di dinding saluran kemih
|
Menekan
saraf vagus
|
Mual, muntah
|
Nafsu
makan turun
|
MK : Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan
|
MK:
kekurangan volume cairan
|
Demam
|
aktivasi
makrofag
|
Makrofag menghasilkan pyrogen
endogen
|
Melepaskan prostaglandin di
hypothalamus
|
Peningkatan
jumlah prostaglandin
|
MK
: Hipertermi
|
MK : Nyeri Akut
|
Reaksi
Inflamasi
|
Iritasi
saluran kemih
|
Ginjal
membesar
|
Gangguan
fungsi ginjal
|
Hematuria,
disuria, piuria
|
MK : Gangguan eliminasi urin
|
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
1.1
Identitas
Terdiri dari nama, usia,
jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis, agama, suku
bangsa pasien dan keluarga penanggung jawabnya.
a.
Usia : Wanita
memiliki lapisan pelindung terhadap mikroorganisme yang bersifat antimikroba
yakni adanya pembentukan mukus dependen estrogen yang membungkus
kandung kemih. Proteksi ini menurun pada wanita menopause yang memiliki kadar
estrogen yang berangsur-angsur berkurang.
b.
Jenis Kelamin: Faktor risiko lebih tinggi pada
anak perempuan dan wanita. Hal ini dikarenakan panjang
uretra wanita lebih pendek dari pria sehingga memungkinkan mikroorganisme masuk
dan langsung menginvasi saluran kemih. Kebiasaan menahan kencing
juga lebih banyak dilakukan oleh anak perempuan dan wanita (terutama wanita
hamil dengan relaksasi otot polos oleh progesteron) dan infeksi yang terjadi
atau iritasi kulit lubang uretra saat melakukan hubungan seksual membuat risiko
mengalami infeksi saluran kemih meningkat.
1.2 Riwayat Kesehatan
a.
Keluhan Utama:
Pada kondisi akut terjadi demam dan mengggigil, nyeri pinggang, nyeri
tekan sudut kostovertebral, vomitting, disuria dan sering berkemih.
b.
Riwayat Penyakit Sekarang: Klien datang ke
pusat tenaga kesehatan karena adanya gejala akut Pielonefritis.
c.
Riwayat Penyakit Dahulu: Batu ginjal atau batu
kandung kemih, Diabetes Mellitus, disfungsi neuropati kandung kemih, ISK
(Infeksi Saluran Kemih) sebelumnya, stasis, refluks, striktur, retensi,
neurogenic bladder, kehamilan, BPH, PMS, kanker kandung kemih.
d.
Riwayat Pengobatan : Penggunaan antibiotik,
antikolinergik, dan antispasmodic
e.
Riwayat Pembedahan : Katerisasi, sistiskopi,
pembedahan.
f.
Riwayat Penyakit Keluarga : Batu ginjal atau
batu kandung kemih, diabetes mellitus.
2.
Pemeriksaan
Fisik
1) B1 (Pernafasan)
Pada pemeriksaan sistem pernafasan biasanya tidak
ditemukan adanya masalah keperawatan.
2) B2 (Kardiovaskuler)
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskuler biasanya pasien
mengalami hipertermi saat akut dan pada pielonefritis kronis biasanya pasien sakit
kepala dan timbul hipertensi.
3) B3 (Persyarafan)
Pada pemeriksaan sistem persyarafan biasanya pasien
mengalami penurunan Hb yang berakibat pada konjungtiva yang anemis pada
pielonefritis kronis, dan pada pielonefritis akut biasanya pasien masih tampak
kompos mentis.
4) B4 (Perkemihan)
Pada pemeriksaan sistem perkemihan biasanya didapatkan
permasalahan disuria, frekuensi, dan urgensi, piuria pada pielonefritis
akut. Serta adanya nyeri pinggang, nyeri tekan kostovertebral. Pada
pielonefritis kronis pasien sering poliuria yang menandakan adanya gagal
ginjal.
5) B5 (Pencernaan)
Pada pemeriksaan sistem pencernaan pasien biasanya mual
dan muntah, turgor kulit buruk dan anoreksia pada pielonefritis akut.
Sedangakan pada pielonefritis kronis nafsu makan menurun, adanya penurunan BB,
dan haus yang berlebihan.
6) B6 (Muskuloskeletal dan Integumen)
Pada pemeriksaan sistem muskuloskeletal pasien terhihat
pucat serta sering mengalami kelelahan/ keletihan saat beraktivitas khususnya
pada pielomanefritis kronis.
3.
Pemeriksaan
Diagnostik
a.
Pielografi
antegrad dan retrograde
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat potensi ureter,
bersifat invasive dan mengandung factor resiko yang cukup tinggi. Sistokopi
perlu dilakukan pada refluks vesikoureteral dan pada infeksi saluran kemih berulang
untuk mencari factor predisposisi infeksi saluran kemih.
b.
CT-scan
Pemeriksaan
ini paling sensitif untuk menilai adanya infeksi pada parenkim ginjal, termasuk
mikroabses ginjal. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menunjukkan adanya
infeksi pada penyakit ginjal.
c.
DMSA
scanning
Penilaian
kerusakan korteks ginjal akibat infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan
skintigrafi yang menggunakan (99mTc) dimercaptosuccinicacid (DMSA).
Pemeriksaan ini terutama digunakan untuk anak – anak dengan infeksi saluran
kemih akut dan biasanya ditunjang dengan sistoureterografi saat berkemih.
Pemeriksaan ini 10 kali lebih sensitif untuk deteksi infeksi korteks ginjal
dibanding ultrasonografi.
d. Pielografi intravena (PIV)
Memberikan gambaran fungsi eksresi ginjal, keadaan ureter,
dan distorsi system pelviokalises. Untuk penderita: pria (anak dan bayi setelah
episode infeksi saluran kemih yang pertama dialami).
4.
Diagnosis
Keperawatan
1)
Nyeri akut
berhubungan dengan proses inflamasi dan infeksi pada sistem urinaria.
2)
Hipertermia berhubungan
dengan proses peradangan
atau infeksi
3)
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
laju metabolik (demam) dan pengeluaran cairan yang
berlebih (poliuri)
5.
Intervensi
1)
Diagnosa
1 : Nyeri akut
berhubungan dengan proses inflamasi dan infeksi pada sistem urinaria (00134)
NOC
|
NIC
|
Tujuan: setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2X24 jam pasien tidak mengalami nyeri
NOC:
Domain 5 kelas V
Pain Level (2102)
a.
Ekspresi wajah mengenai nyeri (5)
b.
Agitasi (5)
c.
Merintih dan menangis (5)
d.
Iritabilitas (5)
e.
Fokus sempit (5)
f.
Kehilangan nafsu makan (5)
Keterangan :
Skor 1 : berat
Skor 2 : di bawah
standart
Skor 3 : sedang
Skor 4 : ringan
Skor 5 : tidak ada
|
Pain Management (1400)
1.
Gali pengetahuan dan keyakinan pasien
tentang nyeri
2.
Dukung klien dan keluarga untuk menyediakan
dukungan
3.
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
4.
Kurangi faktor prespitasi nyeri
5.
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
6.
Ajarkan prinsip manajemen nyeri
7.
Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk
mereduksi nyeri (distraksi, relaksasi)
8.
Kolaborasi analgesik
9.
Tingkatkan istirahat
|
2.
Diagnosa 2 : Hipertermia berhubungan
dengan proses peradangan
atau infeksi. (00007)
NOC
|
NIC
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
pengaturan suhu tubuh pasien normal.
Domain Physiologic
Health (11),
Kelas Metabolic
Regulatin (1)
Thermoregulation (0800)
a. Penurunan temperatur
kulit
b. Sakit kepala
c. Iritabilitas
d. Dehidrasi
e. RR
f. Nadi
g. Melaporkan kenyamanan
suhu tubuh
|
Hyperthermia Treatment (3786)
1.
Monitor TTV
2.
Istirahatkan pasien dari aktivitas fisik
3.
Menjauhkan pasien dari sumber panas
4.
Berikan pasien baju yang tipis
5.
Menggunakan metode penghilang panas dari
luar (kompres pasien di leher, dada, ketiak, lipatan paha)
6.
Tingkatkan hidrasi oral
7.
Monitor hasil laboratorium
8.
Monitor urin output
|
3.
Diagnosa 3: Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan peningkatan laju metabolik (demam) dan pengeluaran cairan yang berlebih (poliuri)
NOC
|
NOC
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
tidak terjadi gangguan kekurangan volume cairan, dengan kriteria hasil:
Domain II, kelas K
Nutritional status
(1004)
a.
Fluid intake
b.
Intake nutrisi
c.
Intake makanan
d.
Intake cairan
e.
Energi
f.
IMT
g.
Hidrasi
|
jF
Fluid management (4120)
1.
Kaji dan dokumentasikan turgor kulit,
kondisi membran mukosa, TTV.
2.
Timbang BB setiap hari dengan menggunakan
alat yang sama
3.
Catat intake dan output secara adekuat
4.
Jika klien mampu, anjurkan untuk
mengonsumsi cairan peroral dengan perlahan, dan tingkatkan jumlah cairan
sesuai order
5.
Tes urine terhadap aseton, albumin, dan
glukosa
6.
Monitoring status nutrisi
7.
Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian
cairan intravena sesuai order yang terdiri dari elektrolit, glukosa, dan
vitamin.
|
6. Evaluasi
a.
Klien tidak merasakan nyeri saat
berkemih
b.
Klien mengalami penurunan suhu tubuh
c.
Mempertahankanan hidrasi yang
adekuat dengan kriteria TTV normal, intake cairan dan output urin seimbang
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Pielonefritis
adalah peradangan pada jaringan ginjal dan pelvis ginjal. Pielonefritis dapat
bersifat akut atau kronis dan sering disertai dengan sistitis. Pielonefritis
akut ditandai dengan nyeri pinggang, demam, menggigil, dan vomitting dengan tatalaksana pemberian makanan cairan tawar dan
monitoring kartu balans cairan juga kemoterapi bisa dianjurkan. Sedangkan untuk
pielonefritis kronis muncul bersama dengan hipertensi yang dapat berakibat pada
kegagalan ginjal (Pearce 2005). Pielonefritis kronis dapat membentuk jaringan
parut dan obstruksi tubulus yang luas sehingga berkurangnya kemampuan ginjal
untuk memekatkan urin (Corwin 2009).
Penyakit ini dibagi menjadi 2 tipe
yaitu ; pielonefritis akut dan kronis. Pada pielonefritis juga akan menyebabkan
penyakit lain seperti ; Nekrosis papila ginjal, Fionefrosis, Abses perinefrik (Underwood 2002). Sedangkan pada
pielonefritis kronis akan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (mulai dari hilangnya progresifitas nefron
akibat inflamasi kronik dan jaringan parut), hipertensi, dan pembentukan batu
ginjal (akibat infeksi kronik disertai organisme pengurai urea, yang
mangakibatkan terbentuknya batu) (Brunner & Suddarth 2002).
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah nyeri
akut berhubungan dengan proses infeksi pada parenkim ginjal,
hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah
4.2
Saran
4.2.1 Masyarakat
Diharapkan
masyarakat menggunakan makalah ini sebagai referensi untuk mencegah atau
mengobati penyakit pielonefritis akut dan kronis.
4.2.2 Petugas Kesehatan
Diharapkan
petugas kesehatan menggunakan makalah ini sebagai referensi dalam melaksanakan
tugas dan menggunakan makalah ini untuk mengatasi atau merawat pasien dengan
pielonefritis akut maupun kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. 2000. Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Fisher DJ et al. 2014. Pediatric
Urinary Tract Infection Treatment & Management. Emedicine. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/969643-treatment#aw2aab6b6b6
Fulop, T et al. 2014. Acute
Pyelonephritis. Emedicine. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/245559-overview#aw2aab6b2b6
Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Johansen TEB, Botto
H, Lobel B (ed). 2004. European
Association of Urology : Guidelines on Urinary and Male Genital
TractInfections.
Pardede SO et al. 2011.Infeksi Saluran Kemih. Dalam buku : Konsensus Infeksi Saluran Kemih
pada Anak IDAI. Jakarta: IDAI.
Price Sylvia A,
Wilson Lorraine M. 2013. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Rusdidjas, Rmayanti R. 2002.Infeksi Saluran Kemih. Dalam : Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Sherwood, Lauralee. 2004. Human Physiology: from
Cells to System. Belmont: Thomson Learning Inc.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi
Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC
Sukandar E. 2007.
Infeksi Saluran Kemih pada Pasien Dewasa dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Underwood, J. C. E . 2002. Patologi Umum & Sistematik. Jakarta; EGC.
Woodley, dan Whelan. 1992. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta: Penerbit Essentia Medica dan Andi
Offset.
NANDA. 2011. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi. 2009-2011. Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar